Pemerintah cadangkan 914 ribu hektare lahan sebagai hutan adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menilai perlu ada terobosan yang harus dilakukan pemerintah terkait persoalan hutan adat ini.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam sidang dengar pendapat Komisi IV DPR, Rabu (15/7) yang disiarkan secara langsung lewat internet mengatakan pemerintah sudah mencadangkan lahan seluas 914 ribu hektar sebagai hutan adat. Namun ia mengakui ada persoalan terkait hutan adat, yakni ketika delienasi atau perencanaan tata guna lahan hutan adat sudah diketahui dan masyarakat adat juga mengetahui hal itu.
Diperlukan peraturan daerah agar hutan adat tidak diberikan begitu saja kepada masyarakat adat setempat. "Yang kita lakukan adalah kita cadangkan daerah itu bagi masyarakat adat tersebut. Artinya dia sudah aman dan tidak bakalan mungkin diganggu leh pihak-pihak lain," kata Nurbaya.
Namun, menurut Nurbaya, kebijakan semacam itu belum cukup. Masyarakat adat menginginkan adanya surat keputusan soal hutan adat bagi mereka dan surat keputusan itu diserahkan langsung kepada ketua adat.
BACA JUGA: Besesandingon, Kiat Orang Rimba Agar Tak Tertular Virus CoronaKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang melakukan pendekatan dan terus mengintensifkan komunikasi dengan masyarakat ada dan organisasi pendukung mereka agar memahami hal tersebut. Persoalan ini, menurut Nurbaya, dapat diselesaikan lewat Undang-undang Masyarakat Hukum Adat yang rancangannya sedang dibahas di DPR.
Hingga kini, lanjut Nurbaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan sudah menetapkan hutan adat di 12 provinsi, yakni Banten seluas 3.509 hektar, Jambi (7.802 hektar), Jawa Barat (31 hektar), Jawa Tengah (64 hektar), Kalimantan Barat (14.105,5 hektar), Kalimantan Tengah (102 hektar), Kalimantan Timur (48,85 hektar), Riau (408 hektar), Sulawesi Selatan (2.818,99 hektar), Sulawesi Tengah (7.797 hektar), Sumatera Barat (6.942 hektar), dan Sumatera Selatan (380 hektar).
Sekjen AMAN : Hutan Adat adalah Milik Masyarakat Adat
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan hutan adat sebenarnya merupakan milik masyarakat adat yang secara turun menurun milik mereka. Pemerintah tambahnya hanya mencatat keberadaan hutan tersebut atau proses administrasi.
Namun pada kenyataannya, hutan adat tidak dapat diberikan begitu saja kepada masyarakat adat yang ada di wilayah itu jika tidak ada peraturan daerah (Perda) masyarakat adat. Saat ini pemerintah baru mengakui 42 ribu hektar sebagai hutan adat. Padahal AMAN, kata Rukka, telah menyerahkan peta wilayah adat kepada pemerintah 10 juta hektar lebih.
Rukka menambahkan persyaratan-persyaratan yang diberikan pemerintah untuk mengklaim hutan adat, sulit dipenuhi karena proses verifikasi, validasi dan pemeriksaan di lapangan berbelit-belit. Sementara pemerintah sendiri tambahnya tidak punya inisiatif untuk mendorong secara aktif pembentukan perda-perda tersebut agar hutan adat dapat dengan mudah diakui.
“Diperlukan terobosan khususnya kebijakan masalahnya kalau di dalam masih diklaim pemerintah sebagai dalam kawasan hutan itu masih mewajibkan perda makannya masih kecil sekali dibandingkan peta wilayah adat yang sudah diterima pemerintah 10 juta hektar lebih. Jebakannya kan ada kata-kata clear and clean. Clear maksudnya harus ada perdanya. Clear bebas dari konflik klaim, sementara mana ada...negeri ini yang belum ada izinnya malah bertumpuk-tumpuk,” ujar Rukka.
Your browser doesn’t support HTML5
Rukka mengindikasikan kuatnya politik agraria di Indonesia di mana undang-undang dibuat untuk melegitimasi perampasan wilayah-wilayah adat. Seluruh wilayah Indonesia, ujar Rukka, dianggap kosong dan kemudian dibagi-bagi oleh pemerintah pusat kepada perusahaan, dijadikan taman nasional, infrastruktur pembangunan seperti jalan dan juga infrastruktur lain (bendungan, sumber pembangkit listrik).
Dalam kondisi seperti itu ada dua hal yang biasanya menimpa masyarakat adat, mereka yang menolak akan diintimidasi, dikriminalisasi, bahkan tak jarang menjadi korban aksi kekerasan. Sementara mereka yang menerima berisiko terancam punah karena hak atas wilayah adat mereka tidak diakui pemerintah dan diberikan kepada perusahaan atau untuk objek-objek pemerintah. [fw/em]