Koalisi Jawa Timur Peduli Agraria (Jelaga) berunjuk rasa di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Timur, menyuarakan aspirasi mengenai penyelesaian konflik agraria yang ada di Jawa Timur. Aksi ini juga merupakan bentuk solidaritas bagi perjuangan petani dan warga pegunungan Kendeng, yang menolak pembangunan pabrik semen di Rembang.
Perwakilan pengunjukrasa dari Serikat Mahasiswa Indonesia, Dion Mulder mengungkapkan, konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur seperti kasus kematian Salim Kancil di Lumajang, merupakan bukti pemerintah tidak peduli terhadap kepentingan rakyat kecil dan kelestarian lingkungan.
“Pekerjaan pemerintah hari ini kan, ya sama saja dari rezim-rezim sebelumnya, mereka cukup tidak mau tahu dengan persoalan agraria yang ada. Persoalan seperti di Rembang, ini kan lawan dari kawan-kawan petani ini kan ya korporasi, cuma kan juga didukung dibelakangnya adalah pemerintah, mulai pemerintah daerah maupun pemerintahan pusat. Jadi soal keberpihakannya, yang pasti pemerintah hari ini berpihak kepada investasi yang ada, tidak berpihak kepada rakyat,” kata Dion Mulder, Serikat Mahasiswa Indonesia.
Tidak hanya kasus tambang pasir besi di Lumajang yang menewaskan Salim Kancil, Dion menyebut banyak kasus tambang di pesisir selatan Jawa Timur merupakan potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meletus bila pemerintah tidak segera menanganinya.
“Pemerintahan hari ini agar segera menyelesaikan konfilk-konflik agraria yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Yang ada di Jember, Tumpang Pitu (Banyuwangi), itu salah satunya, persoalan-persoalan tambang di pesisir selatan Jawa Timur,” lanjutnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mencatat, ada 127 kasus sosial ekologis yang berujung pada pencaplokan wilayah kelola rakyat serta kerusakan lingkungan. Sementara di sektor migas tercatat ada 63 wilayah kerja pertambangan, dengan 31 wilayah masuk status eksploitasi, dan 31 wilayah berstatus eksplorasi.
Your browser doesn’t support HTML5
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Rere Christanto mengatakan, tingginya kasus agraria yang berdampak pada perampasan lahan dan kerusakan lingkungan merupakan bukti ada kesalahan dalam mengelola dan meregulasi sumber daya alam.
“Meningkatnya kasus-kasus ini tentu saja menjadi concern, karena kalau kemudian tiap tahun jumlah konflik tidak semakin mengecil tapi semakin meningkat, tentu saja mungkin ada kesalahan dalam bagaimana kita memperlakukan alam, bagaimana kita meregulasi pengelolaan sumber daya alam,” kata Rere Christanto, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.
Kesalahan regulasi di bidang agraria dan lingkungan kata Rere, dapat dilihat dari perencanaan pembangunan nasional yang memberi peluang besar bagi pembangunan infrastruktur, serta investasi di bidang tambang yang menggusur lahan rakyat maupun kawasan lindung.
“Sampai sekarang kita masih melihat banyak sekali regulasi yang malah condong mengancam keselamatan lingkungan. Tingkat nasional seperti RPJMN misalnya, mendorong investasi besar-besaran, pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur besar-besaran tentu saja mendorong kebutuhan semen dalam jumlah besar. Pembangunan infrastruktur juga kemudian merampas tanah-tanah rakyat, wilayah-wilayah lindung. Kemudian dorongan investasi di sektor ekstraktif, pertambangan baik migas maupun mineral. Nah itu kemudian berhadap-hadapan langsung dengan kebutuhan warga untuk keselamatan wilayahnya,” imbuhnya. [pr/lt]