Kandungan timah, aluminium, mangan, dan konsentrat besi di Sungai Citarum beberapa kali lebih tinggi dari standar yang dianggap aman.
JAKARTA —
Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah dan menghentikan pembuangan bahan kimia berbahaya yang secara terus menerus dilakukan oleh industri ke Sungai Citarum, yang mengaliri Jawa Barat dan Jakarta.
Juru kampanye Greenpeace Indonesia Ahmad Ashov mengatakan akhir pekan lalu bahwa selama ini, pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan pemerintah terhadap industri yang membuang bahan kimia berbahaya sangat lemah.
Selain itu, menurutnya, regulasi tentang bahan kimia berbahaya beracun yang dimiliki pemerintah juga sangat lemah.
Secara global, lanjut Ashov, saat ini sudah ada 100 ribu lebih bahan kimia berbahaya yang diproduksi dan dipasarkan serta dipakai industri. Dari jumlah tersebut, pemerintah Indonesia hanya mengatur 264 bahan kimia, ujarnya.
Padahal hasil penelitian Greenpeace terkait pencemaran di Sungai Citarum menyebutkan adanya bahan kimia berbahaya di sungai itu yang belum masuk dalam bahan kimia berbahaya yang diatur pemerintah, kata Ashov.
“Dan ini merupakan permintaan Greenpeace bahwa pemerintah punya sistem yang bisa membuat pemerintah secara dinamis secara terus menerus mengevaluasi bahan-bahan kimia berbahaya, baik itu yang sudah beredar maupun yang baru kemudian,” ujarnya.
“Pemerintah mengatur itu apakah bisa digunakan, dibatasi atau dihentikan penggunaannya. Kami menemukan berbagai bahan kimia berbahaya yang belum diatur oleh pemerintah seperti phetalate dan itu belum diatur oleh pemerintah.”
Ashov meminta pemerintah untuk mendorong industri untuk berinovasi menggantikan bahan kimia berbahaya dengan bahan kimia yang ramah lingkungan dan itu bisa dilakukan.
Baru-baru ini organisasi nirlaba Blacksmith Institute yang berbasis di New York dan Green Cross asal Swiss melansir daftar tempat paling tercemar di bumi tahun ini. Ada 10 lokasi yang dipandang sangat tercemar akibat limbah industri, pengolahan limbah yang buruk, hingga bencana nuklir.
Sungai Citarum di Jawa Barat dan kawasan di sekitarnya masuk dalam daftar karena pencemaran limbah industri dan bahan kimia. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa terdapat lebih dari 500 ribu orang di sekitar Sungai Citarum yang terpengaruh langsung akibat bahan kimia berbahaya, sedangkan 5 juta orang lainnya tidak terkena dampak langsung.
Kandungan timah, aluminium, mangan, dan konsentrat besi di Sungai Citarum beberapa kali lebih tinggi dari standar yang dianggap aman.
Kepala Badan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Daerah (BPLHD) Jawa Barat, Suharsono menyatakan, Sungai Citarum dicemari oleh 70 persen limbah domestik dan 30 persen limbah industri. Meski demikian, dia mengakui, bahwa limbah industri memang sulit terurai.
Saat ini, ujarnya, pemerintah provinsi Jawa Barat telah mencanangkan Sungai Citarum Bersih 2018 agar di tahun tersebut Citarum memang benar-benar bersih.
“Pertama problemnya adalah 10 kilometer pertama, perambahan-perambahan hutan di daerah atas itu harus dibenahi. Kemudian pencemaran dari domestic. Pemerintah harus membuat pipa-pipa domestik di sepanjang 20 kilometer ini. Kalau sekarang kan limbah-limbah itu langsung ke sungai, kemudian ada penataan,” ujarnya.
“Nanti ke bawahnya desa-desa itu harus menjaga mata air dan dibina supaya desa ini berwawasan lingkungan, kemudian turun kebawah lagi, ada industri-industri. Nah, kita tertibkan industri-industri itu.”
Juru kampanye Greenpeace Indonesia Ahmad Ashov mengatakan akhir pekan lalu bahwa selama ini, pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan pemerintah terhadap industri yang membuang bahan kimia berbahaya sangat lemah.
Selain itu, menurutnya, regulasi tentang bahan kimia berbahaya beracun yang dimiliki pemerintah juga sangat lemah.
Secara global, lanjut Ashov, saat ini sudah ada 100 ribu lebih bahan kimia berbahaya yang diproduksi dan dipasarkan serta dipakai industri. Dari jumlah tersebut, pemerintah Indonesia hanya mengatur 264 bahan kimia, ujarnya.
Padahal hasil penelitian Greenpeace terkait pencemaran di Sungai Citarum menyebutkan adanya bahan kimia berbahaya di sungai itu yang belum masuk dalam bahan kimia berbahaya yang diatur pemerintah, kata Ashov.
“Dan ini merupakan permintaan Greenpeace bahwa pemerintah punya sistem yang bisa membuat pemerintah secara dinamis secara terus menerus mengevaluasi bahan-bahan kimia berbahaya, baik itu yang sudah beredar maupun yang baru kemudian,” ujarnya.
“Pemerintah mengatur itu apakah bisa digunakan, dibatasi atau dihentikan penggunaannya. Kami menemukan berbagai bahan kimia berbahaya yang belum diatur oleh pemerintah seperti phetalate dan itu belum diatur oleh pemerintah.”
Ashov meminta pemerintah untuk mendorong industri untuk berinovasi menggantikan bahan kimia berbahaya dengan bahan kimia yang ramah lingkungan dan itu bisa dilakukan.
Baru-baru ini organisasi nirlaba Blacksmith Institute yang berbasis di New York dan Green Cross asal Swiss melansir daftar tempat paling tercemar di bumi tahun ini. Ada 10 lokasi yang dipandang sangat tercemar akibat limbah industri, pengolahan limbah yang buruk, hingga bencana nuklir.
Sungai Citarum di Jawa Barat dan kawasan di sekitarnya masuk dalam daftar karena pencemaran limbah industri dan bahan kimia. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa terdapat lebih dari 500 ribu orang di sekitar Sungai Citarum yang terpengaruh langsung akibat bahan kimia berbahaya, sedangkan 5 juta orang lainnya tidak terkena dampak langsung.
Kandungan timah, aluminium, mangan, dan konsentrat besi di Sungai Citarum beberapa kali lebih tinggi dari standar yang dianggap aman.
Kepala Badan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Daerah (BPLHD) Jawa Barat, Suharsono menyatakan, Sungai Citarum dicemari oleh 70 persen limbah domestik dan 30 persen limbah industri. Meski demikian, dia mengakui, bahwa limbah industri memang sulit terurai.
Saat ini, ujarnya, pemerintah provinsi Jawa Barat telah mencanangkan Sungai Citarum Bersih 2018 agar di tahun tersebut Citarum memang benar-benar bersih.
“Pertama problemnya adalah 10 kilometer pertama, perambahan-perambahan hutan di daerah atas itu harus dibenahi. Kemudian pencemaran dari domestic. Pemerintah harus membuat pipa-pipa domestik di sepanjang 20 kilometer ini. Kalau sekarang kan limbah-limbah itu langsung ke sungai, kemudian ada penataan,” ujarnya.
“Nanti ke bawahnya desa-desa itu harus menjaga mata air dan dibina supaya desa ini berwawasan lingkungan, kemudian turun kebawah lagi, ada industri-industri. Nah, kita tertibkan industri-industri itu.”