Sejumlah kelompok sipil hak-hak pekerja mendesak pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ ILO) tentang perlindungan pekerja dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyepakati Konvensi 190 pada 21 Juni 2019.
Desakan itu disampaikan Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang merupakan gabungan 30 organisasi masyarakat sipil dalam konferensi pers pada Minggu (21/6).
Luviana dari aliansi ini menyebut, karena ikut mengesahkan konvensi itu, Indonesia sewajarnya segera meratifikasi konvensi tersebut. Seharusnya, kata Luviana, negara-negara itu sudah meratifikasi Konvensi 190 dalam satu tahun setelah pengesahan.
“Pengesahannya sebenarnya merupakan berita baik bagi buruh di seluruh dunia, dan hingga saat ini Indonesia belum melakukan ratifikasi atas konvensi ini,” ujar Luviana.
Selain tuntutan pemerintah meratifikasi, aliansi juga meminta sektor swasta mendukung ratifikasi dan sosialiasi, serta menerapkan aturan internal untuk menghentikan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Masyarakat dan semua pihak juga diajak bersama-sama mengakhiri hal itu.
Pekerja Sulit Melapor
Sumiyati dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut kasus kekerasan dan pelecehan kepada pekerja adalah fenomena gunung es. Tampak kecil angkanya di permukaan, tetapi begitu diinvestigasi lebih dalam, akan tampak kasusnya begitu banyak.
Your browser doesn’t support HTML5
Dia menambahkan korban juga sulit melapor karena ada ancaman dan tindakan balas dendam.
“Di sisi lain, kita tidak menemukan tumpuan aman bagi korban, dan tidak ada perlindungan hukum yang bisa kita anut untuk memberikan jaminan agar korban mendapatkan penanganan dan penyelesaian secara efektif, aman dan efisien,” kata Sumiyati dalam kesempatan yang sama.
Sumiyati menyebut, kekerasan dan pelecehan bisa terjadi di mana pun dalam ruang lingkup pekerja. Karena itu perlindungan harus diberikan juga dalam kegiatan-kegiatan di luar pekerjaan pokok, seperti saat pekerja mengikuti pelatihan, pendidikan dan perjalanan yang terkait dengan pekerjaan.
Kekerasan dan pelecehan juga sering terjadi di fasilitas akomodasi yang disediakan bagi pekerja. Dalam era teknologi informasi, tindakan itu juga bisa dilakukan melalui komunikasi dan alat yang digunakannya.
“Kita kadang abai terhadap hal ini, ternyata tempat ini juga rawan terjadinya kekerasan dan pelecehan kepada pekerja. Saat di akomodasi kemudian melalui komunikasi terkait pekerjaan, ini menjadi salah satu peluang. Ketika sudah ada kecanggihan teknologi, ternyata ruang-ruang seperti itu juga rawan dan rentan,” tambah Sumiyati.
Ratifikasi menjadi penting bagi pekerja karena Konvensi ILO mewajibkan pemberi kerja memberikan perlindungan dan melakukan pencegahan bahaya dan risiko kekerasan dan pelecehan. Konvensi juga menjamin adanya upaya penegakan hukum dan pemulihan bagi korban. Selain itu, negara juga dibebani kewajiban menyusun kebijakan, bimbingan pelatihan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk memahami bahaya kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
Sektor Informal Juga Dilindungi
Koordinator Nasional Jala PRT, Lita Anggraeni, menyebut ratifikasi Konvensi ILO 190 menjadi penting, antara lain karena cakupan definisi yang luas. Perlindungan dari risiko kekerasan dan pelecehan seksual diberikan, tidak hanya bagi mereka yang sedang bekerja, tetapi juga pencari kerja, pelamar, pekerja magang dan mereka yang masuk pasca kerja. Juga melindungi pekerja formal dan informal dimanapun berada, baik perkotaan maupun perdesaan.
Konvensi ILO 190 membuat posisi pekerja rumahan, sebagai sektor informal dan rentan, menjadi lebih terlindungi.
“Karena rata-rata pekerja informal tidak berserikat, tidak ada akses bantuan hukum, tidak ada akses informasi untuk mengontrol. Kalau konvensi ini ada, maka ada akses-akses untuk pencegahan dan laporan, karena negara harus membuat mekanisme perlindungan dan pencegahan itu,” ujar Lita Anggraeni.
Lita menyebut, sejak awal 2020 hingga sekarang sudah ada 417 laporan kekerasan yang dialami PRT. Jumlah ini adalah dari mereka yang sudah berorganisasi. Bagi yang belum masuk dalam organisasi, tentu mereka tidak mengetahui mekanisme pelaporan yang harus dilalui.
Konvensi ILO juga mengamanatkan adanya upaya pencegahan, dan karena itu proses pendidikan dapat dilakukan.
“Untuk memperkenalkan apa sih kekerasan itu? Bentuknya seperti apa? Misalnya melalui media, karena sekarang berbasis teknologi, bagaimana orang melakukan kekerasan secara verbal dan tulisan. Seperti itu,” tambah Lita.
Faktor lain yang membuat Konvensi 190 ILO ini penting bagi pekerja informal, adalah adanya kewajiban pemberi kerja dalam proses pemulihan. Jika seorang PRT mengalami tindak kekerasan, dan membutuhkan waktu untuk menghadapi kasus itu, dia menjadi rentan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dengan ratifikasi, pemberi kerja wajib menyediakan ruang pemulihan, sehingga PRT korban kekerasan bisa terhindar dari PHK.
Penyandang Disabilitas Juga Berharap
Aktivis kelompok disabilitas, Dewi Tjakrawinata dari Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI) menyebut, Konvensi 190 ILO sangat penting diratifikasi. Disabilitas, kata Dewi, adalah kelompok yang sudah mengalami kekerasan dan pelecehan bahkan sejak sebelum mereka bekerja.
Untuk meraih gelar sarjana, kata Dewi, seorang difabel membutuhkan perjuangan yang luar biasa, melebihi upaya mahasiswa non difabel. Namun setelah lulus, ijazah difabel sering diposisikan lebih rendah kualitasnya, dibanding ijazah para nondifabel, meski berasal dari perguruan tinggi yang sama. Di dunia kerja, lowongan pekerjaan selalu mensyaratkan sehat jasmani dan rohani. Di benak masyarakat umum, sehat jasmani langsung dikaitkan dengan tertutupnya kesempatan bagi difabel.
“Stigma yang kuat yang didapat oleh penyandang disabilitas, mereka dianggap tidak punya kompetensi apapun. Sehingga kalau mau melamar, dilihat disabilitas sudah lewat,” kata Dewi.
Bahkan jika sudah diterima kerja, penyandang disabilitas masih menerima perlakuan tidak adil. Misalnya ditempatkan di lantai dua yang susah diakses melalui tangga. Beberapa kali, dalam proses penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN), penyandang disabilitas yang duduk di peringkat pertama tes, dipersulit proses kerjanya.
“Kemudian dalam sistem penggajian, diberi upah yang lebih rendah dari seharusnya dengan dilecehkan, misalnya dikatakan sudah bagus dikasih pekerjaan,” tambah Dewi.
Pengalaman semacam itu meyakinkan kelompok disabilitas, bahwa Konvensi ILO 190 memberi ruang lebih baik bagi mereka di sektor ketenagakerjaan. Karena itulah, dorongan bagi pemerintah untuk segera melakukan ratifikasi terus diberikan. [ns/ft]