Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa Papua di Jakarta dan organisasi kemasyarakatan lainnya melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara Jakarta hari Rabu (17/12).
Mereka menuntut Presiden Joko Widodo bertindak tegas mengusut tuntas kasus penganiayaan dan penembakan lima warga sipil Enarotali, Paniai, Papua yang terjadi beberapa waktu lalu.
Veronika Koman dari lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan presiden Jokowi harus memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk menuntaskan kasus ini dan memberi tindakan tegas terhadap aparatnya jika terbukti bersalah.
Dia menyayangkan sikap Jokowi yang hingga kini belum memberikan pernyataan apapun sehubungan dengan kasus tersebut.
Selain itu, Veronika juga mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar membentuk komisi penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia atau yang biasa disebut dengan KPP HAM.
Menurutnya, komisi ini sangat penting dilakukan agar kasus penganiayaan dan penembakan warga sipil di Pania segera terungkap dan dituntaskan.
Selama ini lanjut Veronika, seringkali kasus kekerasan yang dilakukan oknum aparat tidak tuntas dan dibiarkan, apalagi jika itu terjadi Papua. Hal ini menyebabkan kasus kekerasan di Papua terus terjadi karena tidak ada efek jera.
Veronika mengatakan, "Pak Jokowi suruh anak buahnya (Panglima TNI dan Kapolri) untuk mengusut tuntas. Dulu kita selalu kecam SBY yang cuma prihatin-prihatin aja, tetapi sekarang Jokowi prihatin aja nggak, lebih parah. Padahal Jokowi dikasih suara banyak oleh Papua, sekarang suara dia malah tidak ada untuk Papua."
Di tempat berbeda, Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan saat ini lembaganya telah mengirim tim untuk menyelidiki kasus penembakan dan penganiayaan yang terjadi 8 Desember 2014 di Paniai, Papua .
Menurutnya tim Komnas HAM juga telah bertemu saksi, keluarga korban, pemerintah daerah. Sementara TNI dan Polri menolak menemui Komnas HAM.
Temuan sementara terungkap bahwa saksi yang melihat ciri-ciri penembak mendeskripsikan mereka bukan orang asli Papua.
Natalius mengatakan penembak berkulit sawo matang. Natalius mengatakan pendatang dari luar Papua umumnya tidak memiliki senjata. Yang memiliki senjata hanya anggota TNI dan Polri.
Selain itu, kendaraan yang digunakan oleh sekitar 5 orang penyerang itu menggunakan plat B dari Jakarta.
"Indikasi peristiwa pertama, pelakunya lebih mengarah ke TNI, yang pakai motor maupun mobil yah. Mobilnya itu menggunakan plat B, plat B di wilayah itu hanya digunakan tim khusus TNI karena mobil itu terbatas bisa dihitung. Peristiwa kedua itu gabungan TNI/Polri karena itu di lapangan atau seperti alun-alun," papar Natalius.
Kasus di Paniai ini bermula dari penghadangan yang dilakukan tiga remaja terhadap motor yang diduga ditumpangi anggota TNI Senin (8/12) dini hari lalu. Ketiga remaja tersebut meminta mereka untuk menyalakan lampu motornya.
Tidak terima ditegur oleh tiga anak yang masih berumur belasan itu, mereka datang dengan serombongan prajurit dengan menggunakan mobil Fortuner dan langsung mencari pelaku anak remaja yang menegur tadi. Dua berhasil kabur, namun Julianus Yeimo bernasib nahas. Dia dipukuli hingga tidak sadar dan ditembak, sampai akhirnya tewas.
Kematian Julianus memicu kemarahan warga. Ratusan orang berkumpul di depan markas koramil dan polsek menuntut pertanggung jawaban. Situasi kian tidak terkendali hingga akhirnya rusuh. Aparat kemudian melepaskan tembakan yang menewaskan empat orang.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pemerintah sangat prihatin atas peristiwa penembakan yang terjadi di Kabupaten Paniai, Papua.
Dia mengungkapkan telah memerintahkan aparat keamanan untuk mendalami kejadian yang sebenarnya terjadi di Papua dan menghukum oknum yang dianggap bertanggungjawab.
"Tentu kita perintahkan aparat keamanan untuk meneliti apa yang terjadi untuk memeriksa siapa yang salah," ujar Wapres Jusuf Kalla.