Pemerintah Diminta Hati-Hati Tangani Kasus Makar Papua

  • Nurhadi Sucahyo

Aparat menggerebek lokasi yang diduga markas Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mimika di Jalan Cenderawasih, Timika, 14 Oktober 2019. (Foto: Humas Polda Papua)

Setelah kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat di Papua bulan Agustus-September 2019 lalu, sejumlah aktivis di sana dihadapkan ke pengadilan. Pegiat hukum berpesan, pemerintah hati-hati mengambil langkah. 

Kerusuhan besar yang melanda berbagai kota di Papua pada bulan Agustus dan September lalu, berbuntut penangkapan sejumlah aktivis. Mereka ditahan dan menjalani proses hukum di dua kota berbeda, yaitu Jayapura di Papua dan Balikpapan, Kalimantan Timur.

Kepada VOA, pengacara Welstermans Tahuleding mengingatkan pemerintah Indonesia, bahwa tindakan yang diambil mungkin berdampak buruk bagi proses damai Papua.

“Terkait banyaknya kriminalisasi, sebenarnya ini akan lebih banyak memicu konflik-konflik baru nantinya. Sehingga upaya rekonsiliasi pastinya gagal, kalau masih ada banyak penangkapan terhadap aktivis. Seharusnya diajak dialog, kemudian melihat akar permasalah itu apa. Solusinya bukan penangkapan terhadap mereka, para aktivis,” kata Welstermans.

Sejumlah pengacara dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) bergabung dalam Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua. Ada dua perkara yang menjadi perhatian utama saat ini. Perkara pertama adalah persidangan Bazoka Logo. Pada 7 November lalu, pengacara Bazoka membacakan pembelaan dalam persidangan di PN Jayapura.

Persidangan Bazoka Logo di PN Jayapura, 7 November 2019. (Foto: Yohanis M)

Bazoka Logo adalah pejabat di Biro Politik, United Liberation Movement For West Papua (ULMWP). Dia juga penanggungjawab aksi demo damai pada 15 Agustus 2019. Pasca demo itu, Bazoka ditangkap aparat keamanan. Kini dia menjalani sidang di PN Jayapura, dalam kasus pemalsuan dokumen KTP untuk pembuatan paspor. Koalisi memandang kasus ini sebagai upaya kriminalisasi terhadap aktivis ULMWP.

“Terkait Papua, dengan begitu banyaknya penangkapan, memang kalau ditarik benang merahnya ini adalah kasus politik. Kasus Bazoka sendiri adalah bentuk kriminalisasi, dengan cara mengalihkan ke tindak pidana pemalsuan dokumen,” tambah Welstermans.

Tujuh Tapol di Balikpapan

Kasus kedua yang disorot adalah pemindahan tujuh tahanan politik yang disangka dalam kasus makar. Mereka adalah Buktar Tabuni, Agus Kossay, Fery Kombo, Alexander Gobay, Steven Itlay, Hengki Hilapok, dan Irwanus Uropmabin. Ketujuh orang ini ditangkap dalam serangkaian operasi aparat keamanan pada September 2019, setelah demonstrasi dan kerusuhan terjadi di Papua. Pada 4 Oktober 2019, polisi memindahkan mereka dari Rutan Polda Papua ke Polda Kalimantan Timur.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay meminta pihak berwenang untuk segera mengembalikan tujuh tahanan dari Kalimantan Timur ke Papua. Emanuel memaparkan ini dalam penjelasan sikap mereka di Jayapura pada 11 November 2019.

Pernyataan sikap Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua di Jayapura, 11 November 2019. (Foto: Yohanis)

“Jika kepolisian merasa ragu dengan keamanan Jayapura, maka pihak keluarga menawarkan agar proses penahanan dan pemeriksaan 7 orang Tapol Papua bisa dilakukan di PN Biak, PN Sorong, PN Merauke atau PN Nabire atau dimana saja asalkan tetap dalam wilayah Papua,” ujar Emanuel yang juga menjadi koordinator tim litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua.

Dalam penjelasannya, Emanuel menyebut permintaan keluarga para tahanan didasari keinginan agar mereka mudah melakukan kunjungan. Pada prinsipnya, lanjut Emanuel, permintaan keluarga ini merupakan bagian dari hak tersangka untuk mendapat kunjungan dari keluarga, sebagaimana dijamin Pasal 60, UU Nomor 8 Tahun 1981 atau KUHAP.

Dipaparkan Emanuel, kasus ini bermula dari serangkaian aksi anti rasisme di bebagai kota di Papua selama Agustus 2019. ULMWP, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) disebut sebagai dalang aksi anti rasisme. Pada 5-17 September 2019, sejumlah aktivis dari organisasi itu ditangkap. Penyidik kemudian menetapkan mereka sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana sesuai Pasal 106 KUHP atau pasal makar.

Polres Kota Jayapura memeriksa 66 orang simpatisan ULMWP seusai mereka menggelar aksi 16 Agustus 2019. (Foto Humas Polda Papua)

Polisi sendiri beralasan, pemindahan ini untuk menjamin keamanan. Hal itu disampaikan Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra, beberapa hari setelah pemindahan.

"Berdasarkan keterangan dari Kapolda Papua, ini dimaksudkan untuk kebaikan di wilayah Papua, dengan maksud saat persidangan tidak terjadi kericuhan di sana," kata Asep di Jakarta (7/10).

Polri juga memahami aspirasi keluarga para tahanan, tetapi langkah itu tetap dipertahankan.

“Pada prinsipnya seperti itu, memang ada harapan dari keluarganya untuk dikembalikan. Tapi kita memberikan langkah ini untuk bagaimana kita melindungi kepentingan umum yang lebih besar," tambah Asep.

Asep juga menjelaskan, dalam hal tertentu secara yuridiksional, pemindahan tahanan dalam wilayah Indonesia bukan suatu masalah.

Tidak Sentuh Substansi Masalah Papua

Aktivis dari Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua, Yohanis Mambrasar menilai, pemerintah mendekati persoalan Papua secara sepotong. Apa yang terjadi beberapa bulan terakhir, adalah bagian dari akumulasi berbagai konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun.

“Jadi dalam konteks penahanan terhadap aktivis itu, apakah itu baik atau tidak, menurut saya Jakarta cuma mengalihkan, atau tidak menyentuh persoalan substansi di Papua. Ini juga orang Papua merasa semakin tetap dijauhkan dari keadilan. Ini pola lama yang dipakai oleh Jakarta dalam menghadapi persoalan Papua. Konflik Papua bertahun-tahun terjadi, dan Jakarta tidak menyentuh persoalan pokok dari orang Papua itu sendiri,” papar Yohanis.

Kapolres Jayawijaya AKBP Tonny Ananda, dan jajaran memperlihatkan barang bukti kasus kerusuhan Wamena di Polres Jayawijaya, 09 Oktober 2019. (Foto: Humas Polda Papua)

Yohanis menggunakan hasil riset LIPI sebagai referensi paling akurat tentang akar masalah Papua. LIPI memaparkan hasil penelitian empat akar masalah di Papua adalah kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua. Empat akar itu, dinilai Yohanis, belum disentuh oleh pemerintah pusat.

Terkait kasus terakhir, Yohanis menyarankan pemerintah berhati-hati melangkah. Kriminalisasi aktivis ULMWP dengan dugaan pemalsuan dokumen serta pemindahan tahanan politik ke Kalimantan Timur justru berdampak negatif. Anak-anak muda Papua justru dikhawatirkan bersimpati pada gerakan itu, karena menilai ada ketidakadilan.

Yohanis justru menyarankan pemerintah mulai berdialog dengan organisasi seperti ULMWP. Organisasi ini harus ditempatkan sebagai kelompok masyarakat Papua yang menjadi bagian dari konflik. Karena mereka turut berkonflik, kesepakatan dengan ULMWP akan berdampak pada gerakan sipil dan bersenjata yang ada.

Your browser doesn’t support HTML5

Pemerintah Diminta Hati-Hati Tangani Kasus Makar Papua

“Jakarta harus duduk dan ketemu dengan ULMWP. Harus ada komunikasi politik yang baik, karena ini persoalan politik, bukan persoalan hukum. Hukum kan cuma dipakai oleh negara untuk menjerat kawan-kawan ini saja, tetapi tidak menyentuh persoalan substansi,” tambah Yohanis.

Niat baik pemerintah juga bisa diwujudkan, dengan memenuhi permintaan tujuh tahanan politik agar bisa kembali ke Papua.

“Mereka yang ditanggap itu harus diberikan ruang untuk membuktikan apakah tuduhan itu benar atau tidak. Mereka harus diperlakukan secara manusiawi. Untuk yang di Kalimantan Timur, mereka minta dikembalikan ke Papua,” ujar Yohanis. [ns/lt]