Pemerintah pusat sampai saat ini tidak pernah mempublikasikan data Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang meninggal di tengah pandemi virus corona. Padahal, platform bersama penyusunan data pandemi, laporcovid19.org menilai, jika data ini dimasukan, setidaknya angka kematian di Indonesia akibat corona akan naik 3,5 kali lipat dari angka resmi saat ini.
Bukan hal yang mudah menelusuri data kematian PDP, apalagi yang tidak jelas statusnya karena belum menjalani swab test atau tes usap, atau baru satu kali diambil spesimennya. Daerah menerjemahkan pedoman dari Kementerian Kesehatan dalam standar yang berbeda.
Dikonfirmasi mengenai hal ini, Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dr. Sri Wahyu Joko Santoso, menegaskan keputusan soal status ada di rumah sakit.
“Kita di dinas itu hanya menerima dari rumah sakit yang merawat. Untuk penentuannya dia negatif atau enggak, ya kita mengikuti yang merawat. Kalau laporannya di sistem dinyatakan negatif, ya kita tulis negatif, kan gitu,” kata pria yang akrab dipanggil dr Oky itu.
Oky mengaku pernah menanyakan persoalan ini ke Kemenkes. Jawaban yang dia peroleh, jika pasien baru menjalani swab satu kali, dipertimbangkan penyakit penyerta yang diidapnya sebagai penyebab kematian.
Posisi pemerintah daerah, lanjut Oky, menempatkan keputusan rumah sakit sebagai kesimpulan yang harus diikuti. Alasannya, pihak rumah sakitlah yang memahami betul kondisi pasien. Dinas kesehatan daerah berperan mengumpulkan laporan, kemudian melakukan validasi. Jika seorang PDP meninggal dunia, namanya akan dimasukkan dalam daftar hingga ada diagnosis akhir rumah sakit. Statusnya berubah atau tidak, tergantung diagnosis akhir itu.
Your browser doesn’t support HTML5
Di sisi lain, hasil diagnosis rumah sakit juga menjadi dasar pengumuman kepada keluarga dan masyarakat untuk mencegah kemungkinan masalah sosial. Puskesmas di wilayah tempat tinggal pasien, juga akan menindaklanjuti dengan penyelidikan epidemiologi untuk meyakinkan hasil diagnosis rumah sakit. Hasil kerja Puskesmas ini menjadi dasar tindak lanjut yang diambil.
Upaya Uji Lab Harus Maksimal
Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta, Irene berharap pasien PDP diupayakan semaksimal mungkin agar dapat menjalani dua kali uji swab. “Kalau kita mau memastikan diagnostiknya, kan mestinya wajib. Karena dia kalau sudah masuk kriteria PDP, itu kan nggak bisa dibuang begitu saja. Kan tetap saja namanya ada PDP. Nah kalau sampai terakhir enggak tahu diagnosisnya, kan susah juga,” kata Irene.
Irene menegaskan, satu spesimen belum bisa di anggap bisa memberikan hasil akhir status seorang pasien. Karena itulah dengan jelas panduan menyebut persyaratan itu agar bisa dipenuhi. Irene memastikan seluruh pemerintah daerah telah memahami, bahwa mereka tidak bisa memasukkan nama PDP yang belum tegak diagnosisnya ke klasifikasi tertentu. Karena itulah upaya maksimal harus dilakukan. Irene bahkan memberi gambaran, sejauh mulut PDP yang meninggal itu masih bisa dibuka untuk mengambil spesimen, upaya tetap harus dilakukan.
BBTKLPP sendiri banyak menerima spesimen dari pasien yang sudah meninggal. Namun, lanjut Irene, jika hanya berasal dari satu spesimen, pihaknya tidak akan memberikan kesimpulan. Jika hasil uji lab spesimen pertama adalah negatif, maka yang hanya sampel pertama itu yang statusnya negatif. Status pasien tidak dapat dinyatakan sebagai “negatif” hanya berdasar satu hasil swab tersebut.
“Dan hasilnya pun tidak disimpulkan, swab satu kali, negatif tetap tidak ada kesimpulannya. Dan di WA saya biasanya saya tulis, swab pertama negatif dan belum bisa disimpulkan karena baru satu swab diperiksa,” lanjut Irene.
Jurnalis dari delapan media yang melakukan kolaborasi di Yogyakarta menemukan sekurangnya ada 12 nama PDP dalam kelompok ini. Dua belas nama itu muncul di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta.
Dari daftar tersebut, setidaknya lima PDP belum diambil swab sama sekali, dan tujug PDP baru diambil swab satu kali. Bukan tantangan mudah untuk menemukan 12 nama tersebut.
Sebenarnya, dimungkinkan ditemukan lebih banyak nama, apabila data pasien dibuka lebih transparan oleh pemerintah. Dua belas PDP itu dialihkan ke daftar pasien negatif. Keputusan ini perlu dipertanyakan, karena berpotensi membuat data pandemi tidak valid.
Pemeriksaan Agresif Penting Dilakukan
Pakar biologi molekular Ahmad Rusdan Handoyo Utomo memaparkan dengan detail bagaimana panduan pemeriksaan pasien terinfeksi virus corona. Salah satunya adalah mengapa tes harus dilakukan dua kali untuk menentukan status negatif seorang pasien.
“Kenapa harus dua kali? Karena mengikuti perjalanan dari virus ini, perjalanan reproduksinya. Virus ini begitu dia menemukan inang, dia pasti akan menyusup ke dalam, dan akan membaca mekanisme sel untuk memperbanyak dirinya,” kata Rusdan.
Rusdan memaparkan, spesimen akan relatif mudah ditemukan satu minggu setelah seseorang menunjukkan gejala awal seperti demam atau pilek. Lokasinya ada di nasofaring, dan karena itu spesimen diambil di titik ini. Waktunya harus tepat, tidak boleh terlalu cepat atau melewati masa itu. untuk memudahkan pengambilan spesimen harus dilakukan beberapa kali.
Jika telah melewati periode nasofaring, virus akan bergerak ke titik lain. Karena itulah, panduan pengambilan spesimen menyebut, upaya ini harus dilakukan dari sumber yang berbeda. Rusdan menyebut tindakan ini sebagai upaya agresif, untuk semaksimal mungkin memaksimalkan kesahihan diagnosis seorang pasien.
“Jadi memang panduan itu bukan karena suka-suka orang membuat panduannya. Itu ada ilmunya, karena kalau sekali tidak ketemu, bisa berarti yang kita kuatirkan adalah jumlah terlalu sedikit. Ada juga alternatif alasan lain, misalnya lab-nya enggak kompeten, ngambilnya enggak dalam, atau ngambilnya keliru,” kata Rusdan.
Teknik mengambil spesimen juga membuka peluang timbulnya kesalahan, Rusdan menyebut ini terkait dengan kompetensi petugas yang mengambilnya. Ada juga kemungkinan faktor Virus Transport Media (VTM) yang tidak stabil. Faktor ini menjadikan spesimen saat dimasukkan ke collection kit menjadi kadaluwarsa dalam perjalanan menuju lab.
Rusdan ingin menunjukkan, bahwa ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi status negatif pasien. Hal-hal semacam ini juga harus diperhatikan untuk menghasilkan data yang sahih selama pandemi ini. Lebih jauh, Rusdan bahwa memandang perlu dilakukan audit lab jika memang dibutuhkan. Jika sebuah lab menghasilkan persentase positif terlalu kecil dibanding lab lain untuk spesimen yang sama, perlu audit mendalam.
Ketika disodori data, bahwa ada delapan kasus positif corona meninggal di DIY dan lebih dari 85 pemakaman standar COVID-19 sudah dilakukan, Rusdan menilai ada sesuatu yang janggal. “Ini kalau saya jadi peneliti di sana, saya akan cari itu. Saya lihat semua gejalanya seperti apa. Semua hasil lab seperti apa? Saya akan tanya seberapa agresif dia mengambil sampelnya dan kalau perlu dilakukan otopsi atau minimal biopsi paru. Itu kalau saya,” papar Rusdan yang menempuh pendidikan pasca doktoral di Harvard Medical School, Boston, Amerika Serikat.
Peneliti bisa menganalisa serumnya, dan tidak hanya menggunakan alat rapid tes biasa. Prosedur yang digunakan lebih hati-hati, kata Rusdan. Peneliti juga bisa mengambil plasma darah pasien untuk melakuan tes anti body Sars Cov 2. Dengan teknik yang lebih maju, hasilnya tidak hanya ada atau tidaknya antibodi, tetapi juga menghitung jumlahnya.
Semua langkah agresif ini penting, kata Rusdan untuk menghasilkan data dan pemahaman yang lebih baik terhadap kasus-kasus terkait virus corona. “Bukan untuk mencari-cari kesalahan lab, tapi ini secara biologis. Saya kuatirnya, misalkan di masyarakat virus ini sudah bermutasi. Karena bermutasi, jadi tidak terdeteksi. Jadi, kita harus melihat ini dari semua kemungkinan,” tambah Rusdan.
Untuk menentukan status pasien, tidak cukup dengan pemeriksaan swab dari nasofaring saja. Tes juga bisa dilakukan dengan mengambil spesimen dari saluran napas bawah atau sputum, hingga ke alveolus. Bahkan bisa dilakukan tindakan biopsi paru, dan jika perlu otopsi terhadap pasien yang meninggal namun belum tegak diagnosisnya. Sejumlah peneliti bahkan mengorek informasi hingga ke feses atau kotoran pasien.
Semua proses ini untuk memastikan status pasien, sehingga dihasilkan data lebih tepat, agar pemerintah bisa mengambil kebijakan berdasar kajian yang dilakukan. [ns/em]