Eskalasi konflik di Papua semakin mengkhawatirkan pasca serangan kelompok bersenjata gerakan Papua merdeka pekan lalu yang menewaskan 10 warga sipil di Kabupaten Nduga.
Dalam diskusi bertema “Eskalasi Konflik di Papua” pada Selasa (19/7), Usman Hamid dari Koalisi Kemanusiaan Untuk Papua meminta dikuranginya secara signifikan pendekatan keamanan yang diberlakukan pemerintah pusat di Papua. Kebijakan yang bersifat sentralistik, tambahnya, juga mesti dikurangi.
Dia mengusulkan agar pemerintah pusat mengoreksi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang baru dan memperbaiki kebijakan berkaitan dengan pemekaran wilayah di Papua untuk mengurangi kekerasan bersejata di lapangan. Menurutnya jika semua itu dilakukan oleh pemerintah pusat maka bisa meredam konflik bersenjata di tingkat bawah.
BACA JUGA: Polisi: KKB Tembak Mati 9 Warga Papua"Tetapi keseluruhan kebijakan itu juga perlu diorientasikan pada penjajakan perundingan damai. Perundingan damai adalah satu-satunya jalan untuk saat ini dalam meredam eskalasi konflik yang bisa berkepanjangan," kata Usman.
Usman menggarisbawahi perlunya pasukan pemerintah dan milisi gerakan Papua merdeka untuk mematuhi norma-norma hak asasi manusia dalam konflik bersenjata, yakni hukum humaniter, yang salah satu poin pentingnya adalah tidak menyerang sasaran-sasaran sipil, baik manusia atau fasilitas sipil seperti sekolah dan rumah ibadah.
Di sisi lain, pemerintah, ujarnya, juga harus segera menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Papua, seperti kasus Wamena, Biak, dan Wasior untuk mengurangi eskalasi.
Your browser doesn’t support HTML5
Urgensi Kepastian Perlindungan Bagi Warga Sipil
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Pendeta Daniel Ronda menyampaikan duka cita kepada keluarga korban penembakan di Nduga dan mengecam tindakan kelompok bersenjata yang menewaskan sepuluh warga sipil, termasuk satu pendeta.
Pendeta Ronda berharap kedua pihak yang berkonflik sungguh-sungguh melindungi warga dan kepentingan sipil. Dia menekankan pihak gereja yang diminta netral dalam konflik bersenjata di Papua, sering dianggap oleh pasukan pemerintah melindungi kelompok bersenjata.
BACA JUGA: Pepera, Sejarah Papua yang Tidak Pernah Selesai"Setiap bapak, Ibu, Saudara menghadiri ibadat gereja hari Minggu, selalu kami mendoakan bangsa dan negara. Mungkin dari semua agama, hanya kami yang konsisten mendoakan bangsa ini. Jadi jangan diragukan kebangsaan ini," ujar Ronda.
KSP: Presiden Berkomitmen Bangun Papua dengan Pendekatan Kesejahteraan
Diwawancarai secara terpisah, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan sejak awal Presiden Joko Widodo berkomitmen agar fokus pendekatan pembangunan di Papua menggunakan pendekatan kesejahteraan. Ia mengakui masih terjadinya aksi kekerasan di Papua, tetapi tidak di seluruh wilayah itu. Faktornya penyebabnya pun tidak tunggal.
“Kesenjangan kesejahteraan, akses pendidikan, kesehatan, transportasi yang buruk, daerah yang terisolasi dan terpencil menjadi salah satu pemicunya,” ujar Jaleswari.
BACA JUGA: Konflik Pemekaran: Ibu Kota, Wilayah Adat, ASN hingga Migrasi ke PapuaJaleswari menambahkan dalam upaya mengimplementasikan percepatan kesejahteraan di tanah Papua dibutuhkan stabilitas keamanan sebagai basis persyaratan akselerasi pembangunan. Menurutnya pemerintah memilih pendekatan penegakan hukum sebagai jawaban dari merebaknya kekerasan selama ini.
Pendekatan keamanan, tambah Jaleswari, hanya dilakukan sebagai “the last resort” setelah berbagai upaya nonkeamanan telah dilakukan. Dia membantah pemerintah melakukan operasi militer di Papua. [fw/em]