Pemerintah Diminta Ungkap Aparat Terduga Penembak Pendeta Yeremia

Proses evakuasi salah satu korban penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua, Sabtu, 26 Oktober 2019, sebagai ilustrasi. (Foto: Kapendam XVII/Cenderawasih)

Sejumlah LSM pemerhati Papua mendesak pemerintah untuk mengungkap identitas aparat yang diduga menembak Pendeta Yeremia Zanambani di Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Direktur Imparsial Al Araf menilai laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mengapresiasi kinerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kekerasan dan penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Meski ia menilai laporan TGPF tentang penembakan Pendeta Yeremia Zanambani belum tuntas. Itu terlihat dari terduga pelaku dari aparat yang tidak dijelaskan dengan rinci dalam laporan tersebut. Karena itu, Al Araf mendorong pemerintah untuk mengungkap identitas aparat yang diduga menembak pendeta Yeremia.

"Terlepas dari catatan tersebut, pemerintah harus menindaklanjuti laporan tersebut dalam satu langkah yang lebih serius untuk menemukan siapa yang dimaksud dengan aparat yang terlibat dalam proses yustisia," jelas Al Araf dalam konferensi pers online pada Kamis (22/10).

Direktur Imparsial, Al Araf saat memberikan keterangan pers secara virtual terkait penembakan di Intan Jaya, Papua, Senin, 28 September 2020. (Foto: screenshot)

Al Araf menambahkan pemerintah juga perlu mengungkap motif pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia, termasuk ada tidaknya tindakan sistematis dalam peristiwa ini atau kesalahan prosedur di lapangan. Sebab, kata dia, pembunuhan terhadap tokoh agama biasanya dilakukan untuk membuat takut masyarakat di wilayah konflik.

Sementara peneliti dari Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya, mendorong aparat penegak hukum untuk mengusut pembunuhan Pendeta Yeremia secara transparan hingga tuntas. Ia juga mengusulkan para pelaku nantinya diadili di pengadilan sipil secara terbuka. Sebab, kata dia, proses persidangan di pengadilan militer selama ini kurang transparan.

Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya (foto: tangkapan layar).

"Ada hubungan langsung antara impunitas dengan terawatnya praktik pelanggaran HAM. Impunitas di Papua akan membuat pola kekerasan akan terus berulang. Dan setiap kegagalan dalam menyelidiki atau membawa mereka ke pengadilan akan memperkuat keyakinan pelaku berdiri di atas hukum," jelas Ari Pramuditya.

Ari menambahkan lembaganya mencatat setidaknya ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum di Papua selama periode 2010 hingga 2018, 34 kasus di antaranya diduga melibatkan anggota militer. Dari 34 kasus tersebut, hanya ada enam kasus yang diadili di pengadilan militer. Hal tersebut berarti masih lebih banyak kasus lainnya yang para pelakunya tidak dimintai pertanggungjawaban.

BACA JUGA: Laporan TGPF: Aparat Diduga Terlibat dalam Pembunuhan Pendeta Yeremia

Para LSM pemerhati Papua juga mendorong Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi seluruh saksi, termasuk keluarga korban, sejak proses penyidikan dimulai hingga proses pengadilan selesai.

Menko Polhukam Mahfud Md, Rabu (21/10), menyampaikan TGPF telah menemukan sejumlah fakta penting dalam kekerasan dan penembakan di Kabupaten Intan Jaya. Di antaranya adanya dugaan keterlibatan aparat dalam kasus pembunuhan Pendeta Yeremia pada tanggal 19 September 2020. Meskipun, kata Mahfud, ada juga kemungkinan pembunuhan tersebut dilakukan oleh pihak ketiga.

Menko Polhukam Mahfud Md saat menggelar konferensi pers di Jakarta pada Rabu (21/10). (Foto: screenshoot)

Mahfud tidak mau mengungkap terduga aparat yang menembak pendeta karena alasan investigasi TGPF bukan rangkaian dari proses yustisia atau bukan untuk kepentingan pembuktian hukum. Kata dia, hasil investigasi TGPF ini akan diserahkan langsung kepada aparat penegak hukum.

"Saya katakan ini bukan pro justisia, tidak boleh menuduh orang. Tetapi bahwa ada keterlibatan oknum aparat, di situ. Nama-namanya, siapanya, berapa orang, jam berapa, bukti atau alat-alat apa yang meyakinkan untuk sampai kesimpulan itu, ada lengkap di buku itu (baca: laporan TGPF)," jelas Mahfud saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Rabu (21/10).

TGPF saat ziarah ke makam Pendeta Yeremia di Kabupaten Intan Jaya pada 9 Oktober 2020. (Foto: screenshoot)

LPSK Siap Lindungi Saksi Penembakan Intan Jaya

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) siap menindaklanjuti permohonan perlindungan dari gereja untuk saksi pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani. Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, mengatakan permohonan yang diajukan Badan Pengurus Pusat Gereja Kemah Injil Indonesia untuk keluarga dan saksi sudah diterima LPSK pada Rabu (21/10).

Your browser doesn’t support HTML5

Pemerintah Diminta Ungkap Aparat Terduga Penembak Pendeta Yeremia

LPSK selanjutnya akan menindaklanjuti permohonan tersebut dengan mendalami keterangan para saksi yang sudah ditemui TGPF. Edwin mengungkapkan bahwa dari hasil temuan tim TGPF terdapat tujuh saksi warga sipil yang memiliki keterangan penting saat pendalaman TGPF ke Intan Jaya.

"Bisa dikatakan disana sulit untuk mencari tempat yang aman. Ini tentu menjadi catatan terkait bentuk perlindungan terhadap saksi kasus ini," jelas Edwin yang juga tergabung dalam tim TGPF kepada VOA, Kamis (22/10).

BACA JUGA: Penembakan Pendeta Yeremia: TNI Tidak akan Tutupi Oknum yang Terbukti Terlibat

Edwin meminta dukungan masyarakat dan aparat TNI-Polri untuk keamanan para saksi. Menurutnya, keamanan para saksi penting karena terkait pula dengan kenyamanan mereka memberikan kesaksian. Di samping itu, LPSK juga membuka ruang jika ada pelaku dengan peran minor yang bersedia menjadi saksi pelaku atau justice collabolator untuk kasus ini.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu. (Foto: Edwin Partogi Pasaribu/pribadi)

"Karena dari keterangan yang diberikan dalam kondisi aman dan nyaman bisa terungkap peristiwa yang menyebabkan beberapa orang menjadi korban, baik pendeta Yeremia, masyarakat, dan anggota TNI sendiri," tambah Edwin.

Dua anggota TNI dan dua warga sipil meninggal, termasuk di antaranya Pendeta Yeremia Zanambani yang tertembak pada pertengahan September lalu. Pemerintah kemudian membentuk TGPF untuk mencari fakta-fakta tentang peristiwa kekerasan dan penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Tim ini terdiri dari pejabat pemerintah, tokoh Papua dan akademisi. TGPF kemudian bekerja selama dua pekan dan melaporkan hasilnya kepada Menko Polhukam Mahfud Md pada Rabu (21/10). [sm/ab]