Pemerintah akan bentuk 1.000 Kampung Iklim untuk menggalakkan program swadaya masyarakat menurunkan dampak perubahan iklim.
Pemerintah menargetkan pembentukan 1.000 Kampung Iklim di seluruh Indonesia pada akhir 2012 sebagai antisipasi isu-isu perubahan iklim.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya di Yogyakarta pada Kamis (2/8) mengatakan bahwa pemerintah menargetkan pembentukan 1.000 Kampung Iklim di Indonesia akhir tahun ini, untuk mengurangi dampak perubahan iklim lewat program swadaya masyarakat.
Ia mengajak agar masyarakat bersama-sama pemerintah membangun lingkungan hidup yg sehat seperti halnya kampung Sukunan di Yogyakarta.
“Kampung-kampung iklim agar lebih banyak memberikan kontribusi untuk penurunan emisi gas rumah kaca itu,” ujar Kambuaya.
Ia menyatakan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang pada akhir 2020 diperkirakan mencapai 2,95 gigaton. Agar emisi tersebut tidak berdampak buruk pada lingkungan, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi tersebut hingga 26 persen, tambah Kambuaya.
Deputi III Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Lingkungan dan Perubahan Iklim, Arif Yuwono, menjelaskan, program Kampung Iklim merupakan upaya merespon perubahan iklim yang dilaksanakan melalui swadaya masyarakat.
“Bagaimana kita bisa mengantisipasi isu perubahan iklim, baik dari adaptasi maupun mitigasi tapi di tingkat inisiatif masyarakat. Dan, yang kita inginkan memang ke-swadaya-an, kemandirian dan juga inisiatif [masyarakat]”, ujarnya.
Di Kampung Sukunan, masyarakat yang terdiri dari 300 kepala keluarga sejak 2003 merintis usaha pengolahan sampah secara swadaya dengan melakukan daur ulang sampah dan mengembangkan teknologi tepat guna untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
Iswanto, perintis usaha tersebut, menjelaskan setiap keluarga di Sukunan wajib memilah sampah di rumah masing-masing sebelum membawanya ke tempat sampah komunal. Sampah yang tidak bisa didaur ulang diolah menjadi produk-produk yang bermanfaat seperti bahan bangunan dan kerajinan. Teknologi tepat guna termasuk untuk membuat kompos dari sampah organic, membuat pupuk cair dari urin manusia, penjernihan air, dan berbagai upaya penghematan energy, serta gerakan mengurangi sampah.
“Gerakan membawa tas belanja dari rumah, jangan gunakan popok sekali pakai sebagai kebutuhan harian, jangan gunakan kotak makanan dari gabus styrofoam.. bahkan di Sukunan kita membuat pembalut wanita yang bisa dicuci, dijemur, disetrika, dan dipakai lagi. Ini dalam rangka membatasi sampah kita,” ungkap Iswanto.
Parjiyah, ketua desa wisata lingkungan Sukunan mengatakan, para ibu rumah tangga di dusunnya terlibat dalam pembuatan produk-produk kerajinan barbahan daur ulang sampah.
“Dari plastik, dari bekas kantong minyak, kantong makanan ringan, itu memberi keuntungan, untuk bikin tas, [jok] kursi, lalu potongan kecil-kecil untuk jok mobil, dan dari [pembuatan] kompos juga menguntungkan,” ujarnya.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya di Yogyakarta pada Kamis (2/8) mengatakan bahwa pemerintah menargetkan pembentukan 1.000 Kampung Iklim di Indonesia akhir tahun ini, untuk mengurangi dampak perubahan iklim lewat program swadaya masyarakat.
Ia mengajak agar masyarakat bersama-sama pemerintah membangun lingkungan hidup yg sehat seperti halnya kampung Sukunan di Yogyakarta.
“Kampung-kampung iklim agar lebih banyak memberikan kontribusi untuk penurunan emisi gas rumah kaca itu,” ujar Kambuaya.
Ia menyatakan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang pada akhir 2020 diperkirakan mencapai 2,95 gigaton. Agar emisi tersebut tidak berdampak buruk pada lingkungan, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi tersebut hingga 26 persen, tambah Kambuaya.
Deputi III Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Lingkungan dan Perubahan Iklim, Arif Yuwono, menjelaskan, program Kampung Iklim merupakan upaya merespon perubahan iklim yang dilaksanakan melalui swadaya masyarakat.
“Bagaimana kita bisa mengantisipasi isu perubahan iklim, baik dari adaptasi maupun mitigasi tapi di tingkat inisiatif masyarakat. Dan, yang kita inginkan memang ke-swadaya-an, kemandirian dan juga inisiatif [masyarakat]”, ujarnya.
Di Kampung Sukunan, masyarakat yang terdiri dari 300 kepala keluarga sejak 2003 merintis usaha pengolahan sampah secara swadaya dengan melakukan daur ulang sampah dan mengembangkan teknologi tepat guna untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
Iswanto, perintis usaha tersebut, menjelaskan setiap keluarga di Sukunan wajib memilah sampah di rumah masing-masing sebelum membawanya ke tempat sampah komunal. Sampah yang tidak bisa didaur ulang diolah menjadi produk-produk yang bermanfaat seperti bahan bangunan dan kerajinan. Teknologi tepat guna termasuk untuk membuat kompos dari sampah organic, membuat pupuk cair dari urin manusia, penjernihan air, dan berbagai upaya penghematan energy, serta gerakan mengurangi sampah.
“Gerakan membawa tas belanja dari rumah, jangan gunakan popok sekali pakai sebagai kebutuhan harian, jangan gunakan kotak makanan dari gabus styrofoam.. bahkan di Sukunan kita membuat pembalut wanita yang bisa dicuci, dijemur, disetrika, dan dipakai lagi. Ini dalam rangka membatasi sampah kita,” ungkap Iswanto.
Parjiyah, ketua desa wisata lingkungan Sukunan mengatakan, para ibu rumah tangga di dusunnya terlibat dalam pembuatan produk-produk kerajinan barbahan daur ulang sampah.
“Dari plastik, dari bekas kantong minyak, kantong makanan ringan, itu memberi keuntungan, untuk bikin tas, [jok] kursi, lalu potongan kecil-kecil untuk jok mobil, dan dari [pembuatan] kompos juga menguntungkan,” ujarnya.