Polemik karnaval bercadar sambil menenteng replika senjata oleh anak-anak TK di Probolinggo masih terus bergulir. Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) menyatakan terlalu dini bila mengaitkan hal itu dengan maraknya penangkapan terduga teroris di Probolinggo bebarapa waktu lalu.
Namun memahami keprihatinan banyak kalangan bahwa pemakaian kostum kepada anak-anak yang menyerupai pelaku terduga teroris, secara tidak langsung telah menanamkan spirit kekerasan yang dapat diidentikkan dengan ajaran agama Islam.
Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), Aan Anshori mengatakan, pemakaian kostum atau simbol-simbol seperti itu menunjukan ketidakpekaan pada peristiwa teror bom yang terjadi Mei lalu. Menurutnya yang seharusnya ditampilkan wajah Islam sebagai mengajarkan kasih sayang. Aan menilai kegiatan karnaval di Probolingo harus menjadi peringatan bagi pemerintah dan masyarakat, agar ikut menghadirkan pendidikan bagi anak yang bebas dari paparan intoleransi dan radikalisme.
“Jika radikalisme agama itu dimaknai sebagai upaya mempertontonkan simbol-simbol dipadu dengan simbol-simbol kekerasan, maka yang terjadi di Probolingo, saya kira merupakan lampu kuning atau lampu merah terkait dengan radikalisme di tingkatan pendidikan dasar. Kalau ini memang yang terjadi, maka saya kira semua orang patut waspada, dan merefleksikan kembali sejauh mana kemudian radikalisme ini kok bisa masuk sampai ke level itu,” kata Aan Anshori, Koordinator JIAD.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Luluk Prijambodo mengatakan, pembentukan karakter anak dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas, yakni dengan pengenalan budaya, sejarah dan perjuangan para pahlawan. Namun, para guru atau pendidik harus peka terhadap nilai-nilai yang diajarkan, apakah sesuai atau tidak untuk anak dengan memperhatikan usianya.
“Ternyata ketika kita mengajak anak-anak kita yang mungil-mungil itu, karena itu kan PAUD, PG/TK, tentu dari sisi orang tua, dari sisi guru, dari sisi pendidik, harus menggunakan kepekaannya, kalau anak-anak itu saya pakaikan (pakaian) seperti ini, kira-kira nilai-nilainya tepat tidak ya,” jelas Luluk Prijambodo.
Pemakaian kostum pejuang jihad untuk anak TK pada karnaval kemerdekaan di Kota Probolinggo, juga dinilai kurang tepat oleh pengajar SMP Negeri 3 Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Tutut Guntari. Panitia seharusnya melakukan seleksi terlebih dahulu, untuk memastikan kelayakan kostum yang dikenakan peserta karnaval.
Tutut menyebut penyebaran benih radikalisme sangat mungkin dilakukan terhadap anak usia pra sekolah, karena fakta yang ada telah menunjukkan munculnya benih kebencian anak usia sekolah terhadap temannya yang berbeda. Kontrol orang tua sangat diperlukan, untuk mengantisipasi penyebaran benih intoleransi dan radikalisme terhadap anak usia sekolah.
“Benih radikalisme bisa saja disebarkan melalui anak-anak TK. Mengantisipasinya harus ada idealisme tandingan, yaitu liberal yang diterapkan di rumah, sehingga ada kontrol dari orang tua. Sepulang sekolah anak-anak bisa ditanya, tadi dapat pelajaran apa, seandainya anak-anak ini menjelaskan tentang hal-hal yang tidak sesuai dengan Pancasila, bisa diluruskan oleh orang tua,” kata Tutut Guntari.
Aan Anshori menambahkan, pemerintah dituntut untuk serius menyikapi maraknya intoleransi dan radikalisme di lingkungan sekolah. Hal ini tidak lepas dari survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengenai pelaku intoleransi dan radikal di kalangan pelajar SMA dan SMP.
“Pemerintah harus benar-benar melakukan evaluasi yang serius menyangkut bagaimana agama Islam itu diajarkan di level playgroup, TK, SD, SMP, dan SMA, sebab survei dari PPIM UIN (Syarif Hidayatullah) Jakarta, misalkan, menunjukkan situasi intoleransi dan bahayanya radikalisme sudah sampai ke level SMA dan SMP,” kata Aan Anshori.
Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, Edward Dewaruci mengungkapkan, jelas ada pengabaian hak anak pada kegiatan karnaval kemerdekaan berkostum jihad di Probolinggo. Pemakaian kostum pada anak yang tidak sesuai dengan keinginan anak, atau tidak berdasarkan kehendak anak, dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak anak oleh orang dewasa, termasuk orang tuanya, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, maupun konfensi hak anak internasional.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kalau kita mengikuti Undang-Undang Perlindungan Anak, kita mengikuti konfensi hak anak secara internasional, hak atas pendapat anak itu menjadi hak asasi anak-anak. Secara prinsip sebetulnya ada hak anak yang diabaikan di sini, hak untuk menjamin partisipasi atau pendapatnya itu tadi, terabaikan," kata Edward Dewaruci.
"Anak kan tidak ditanya, kamu mau pakai ini, atau apa memang ini keinginanmu untuk pakai semacam ini, kenapa kok pakai pakaian semacam ini, latar belakangnya apa, mestinya kan ditanya sehingga anak kemudian bisa berpendapat, oh aku tidak suka pakaian ini karena nanti kayak gini, oh aku maunya pakai pakaian yang seperti ini saja. Diskusi-diskusi semacam ini kan tidak pernah dibiasakan oleh orang tua atau orang dewasa di yang Indonesia ini, masih terbatas, semua masih menganggap anak adalah sub-ordinat, atau memang harus mengikuti apa maunya orang dewasa terutama orang tuanya,” lanjutnya. [pr/em]