Akhir Juli lalu, Gerakan Perempuan Peduli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) yang beranggotakan beberapa organisasi perempuan dan Komnas Perempuan, mengadakan pertemuan membahas keberlangsungan KPPPA dalam pemerintahan baru. Hasilnya, mereka meminta pemerintah memperkuat fungsi dan keutamaan KPPA.
Dalam jumpa pers yang digelar di kantor Komisi Nasinal Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Kamis (5/9), akademisi dari Universitas Indonesia, Ani Soetjipto, menyoroti gagasan yang disampaikan oleh Menteri PPPA Yohana Yambise yang ingin mengganti nama Kementerian PPPA menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga. Dia menegaskan bahwa Gerakan Perempuan Peduli KPPPA menolak ide Yohana itu.
Menurut Ani, KPPPA lahir setelah Indonesia meratifikasi CEDAW (Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) pada 1978. Sejak ada KPPPA, Indonesia mencatat sejumlah kemajuan, seperti peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen, bagaimana perempuan di arena publik, pengarusutamaan gender, dan pelibatan perempuan dalam kegiatan pembangunan.
Ani menilai usulan mengganti nama KPPPA menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga merupakan upaya untuk kembali menjadikan perempuan sebagai objek. Padahal selama ini perempuan sudah menjadi subjek.
Lebih lanjut Ani mengungkapkan ketahanan keluarga sangat penting namun perlu ada penyeragaman definisi tentang keluarga. Gerakan Perempuan Peduli KPPPA ingin definisi tersebut menyatakan peran lelaki dan perempuan dalam keluarga sama-sama bisa seimbang, bukan salah satu mendominasi yang lain.
Ani menambahkan, KPPPA harus bersinergi dan berkolaborasi dalam menangani isu-isu perempuan. Dia mendesak Presiden Joko Widodo memberikan mandat politik yang jelas kepada KPPPA.
Your browser doesn’t support HTML5
"Yang kita agak nggak senang adalah kementerian ini dianggap sebagai kementerian yang bisa ada, bisa nggak. Setiap kali mau ganti kabinet, selalu digosipin mau dibubarin, anggaran diturunin," kata Ani.
Ani menegaskan Presiden Joko Widodo harus menunjuk orang yang memiliki kemampuan, memahami isu-isu tentang perempuan, dan mengerti ingin dibawa ke mana perempuan Indonesia, untuk memimpin KPPPA.
Secara khusus, Ani menegaskan sekarang ini Indonesia menghadapi tantangan sangat berat, yaitu menguatnya konservatisme agama di semua lapisan masyarakat. Penolakan terhadap Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual juga sarat akan konservatisme agama.
Zumrotin : Usul Perubahan Nama Kementerian Menunjukkan Menteri Tak Paham CEDAW
Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K. Susilo mengatakan ia mencemaskan perubahan nama dari KPPPA menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga. Ini menunjukkan Menteri PPPA Yohana Yambise tidak paham soal CEDAW. Terlebih karena definisi keluarga antar lembaga negara juga tidak seragam.
Zumrotin menyarankan lembaga-lembaga pemerintah yang bersinggungan dengan isu keluarga harus duduk bersama membahas satu definisi yang jelas mengenai keluarga, bukan sekedar definisi keluarga yang dipakai saat ini dimana keluarga terdiri dari bapak, ibu, dan anak.
"Dia tidak melihat perkembangan zaman sekarang ini. Berapa jumlah perempuan yang menjadi kepala keluarga karena pasangannya sudah meninggal atau sudah cerai. Sehingga dengan definisi itu, tiddak akan masuk dia. Ibu dan anak, bukan keluarga, bapak anak, tidak keluarga. Apalagi kita akan ngomong tentang LGBT, sudah jauhlah itu," ujar Zumrotin.
Walhasil, menurut Zumrotin, ketika ada program dari pemerintah, orang tua tunggal tidak akan memiliki akses terhadap program-prgram keluarga karena tidak memenuhi definisi keluarga yakni bapak, ibu, dan anak.
ICRP Soroti Ideologi Radikal yang Jadi Bahaya Laten dan Menyasar Independensi Perempuan
Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia menyoroti soal ideologi radikal yang sudah menjadi bahaya laten. Namun dia mengingatkan ideologi radikal tidak hanya terdapat di agama Islam saja tetapi juga bisa ada di agama lain.
Musdah menekankan radikalisme berbahaya karena mengarah pada independensi kaum perempuan, yakni bagaimana mengontrol tubuh perempuan secara lebih masif.
"Saya menemukan perda-perda semakin banyak dan semakin masif, dan perda-perda semakin tidak masuk akal, Misalnya mengukur jumlah orang yang salat berapa. Bukan hanya busana tetapi juga soal ketaatan seorang penganut agam juga diukur melalui perda-perda itu. Ini tidak ada respon sama sekali dari pemerintah," tutur Musdah.
BACA JUGA: Menteri Yohana Puji “Perubahan Besar” Putusan MK Soal Batas Usia KawinMusdah mengatakan calon menteri PPPA mendatang harus sosok yang mampu bertarung untuk menyelesaikan masalah ideologi radikal. Alasannya, radikalisme membawa serta upaya-upaya penghancuran independensi perempuan. Bahkan dalam terorisme, perempuan juga menjadi sasaran perekrutan karena kaum hawa memiliki loyalitas yang tinggi.
Secara terang-terangan Musdah menuding perempuan-perempuan yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah terpapar ideologi radikal.
Gerakan Perempuan Peduli KPPPA Sampaikan Kriteria Calon Menteri Pemberdayaan Perempuan
Pada kesempatan tersebut, Listyowati, Ketua Kalyanamitra, membacakan pernyataan sikap dari Gerakan Perempuan Peduli KPPPA. Kehadiran KPPPA yang kuat, handal, dan mampu melakukan kerja sinergi dengan beragam sektor, menjadi prioritas agar pemenuhan hak asasi perempuan segera terwujud dan menjawab berbagai tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia.
Gerakan Perempuan Peduli KPPPA juga mengajukan sejumlah kriteria bagi Presiden Joko Widodo dalam memilih Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; yang antara lain cinta kepada bangsa dan pemajuan bangsa, terutama pemajuan perempuan Indonesia. Di samping itu, calon menteri PPPA harus memiliki pengalaman dan kerja yang panjang dalam penegakan hak-hak perempuan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Hingga berita ini diturunkan, Menteri PPPA Yohana Yambise belum bisa dihubungi untuk dimintai tanggapannya. [fw/em]