Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan membantah bahwa peraturan Menteri Kesehatan tentang sunat bagi perempuan merupakan legitimasi mutilasi kelamin perempuan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang sunat perempuan dinilai Amnesty International kian melegitimasi praktek sunat terhadap perempuan karena mengatur secara detail tata laksana khitan pada perempuan sekaligus memberi otoritas kepada pekerja medis seperti dokter, bidan dan perawat, untuk melakukannya.
Selain itu aturan tersebut menurut Amnesti Internasional juga bertentangan dengan konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia.
Direktur Bina Kesehatan Ibu di Kementerian Kesehatan, Dr. Gita Maya Koemara Sakti Soepono kepada VOA membantah peraturan tersebut melegitimasi praktek sunat terhadap perempuan.
Menurutnya peraturan tersebut tidak mengharuskan sunat bagi perempuan, tetapi bila ada perempuan yang ingin disunat, peraturan tersebut menjadi panduan agar perempuan terhindar dari praktek sunat yang membahayakan kesehatan.
Saat ini kata Gita Maya, Peraturan Kementerian Kesehatan tentang sunat perempuan itu akan direvisi agar tidak terjadi multi tafsir seperti yang terjadi sekarang ini.
Dr. Gita Maya menjelaskan, "Peraturan Menteri Kesehatan itu tidak lahir begitu saja. Jadi ada kronologisnya. Dari sebelumnya, edaran dirjen yang melarang sunat perempuan. Kemudian fatwa MUI yang minta supaya edaran itu dicabut sampai lahirnya SK dari Menkes."
Sebelumnya pada tahun 2006, Kementerian Kesehatan pernah melarang adanya khitan perempuan tetapi peraturan tersebut tersebut dibatalkan karena keberatan kalangan ulama.
Kepala Lembaga Kependudukan dan Gender Universitas YARSI Jakarta, Professor Jurnalis Uddin, menyayangkan sikap pemerintah yang membatalkan aturan larangan khitan perempuan tersebut.
Peraturan Menteri kesehatan tahun 2010 mengenai tata laksana khitan perempuan, menurut Prof Jurnalis Uddin, justru semakin memperbesar resiko kerugian pada perempuan yang dikhitan.
"Pertama dari segi kesehatan tidak ada guna. Yang ada malah kerugian, karena ada perlukaan, ada yang mungkin pendarahan, kemungkin kalau terjadi infeksi jadi tidak ada manfaat. Di Saudi sendiri tidak ada khitan perempuan, di Jordan tidak ada khitan perempuan, di Libanon tidak ada, di Turki tidak ada. Jadi di negara yang konvensional saja tidak ada. Dan di Mesir fatwa dari mufti tidak boleh melakukan khitan perempuan. Nah Indonesia (men)contoh yang mana?" ungkap Prof Jurnalis Uddin.
Untuk itu, Professor Jurnalis Uddin juga mendesak Kementerian Kesehatan segera mencabut peraturan Menteri Kesehatan tentang khitan perempuan.
Kementerian Kesehatan bersama dengan pakar-pakar kesehatan harus meyakinkan Majelis Ulama Indonesia bahwa sunat perempuan tidak mempunyai manfaat apapun.
Prof Jurnalis Uddin menambahkan, "Harus menyakinkan Majelis Ulama. Melakukan penelitian sehingga nanti pakar-pakar bisa menyakinkan Majelis Ulama bahwa fatwanya keliru. Dan itu biasa, di Majelis Ulama suatu fatwa tidak berarti itu fatwa seumur hidup. Bisa saja fatwa itu setelah 5 tahun diubah lagi karena ada temuan-temuan baru, sehingga itu ada dasar untuk mengubah."
Praktek khitan bagi perempuan oleh sebagian negara di dunia saat ini memang sudah dilarang. Negara-negara di Afrika tahun 2010 lalu bahkan sampai menggelar konferensi internasional untuk mendorong gerakan penghapusan atau pelarangan khitan pada organ genital perempuan yang dinilai melanggar HAM.
Umumnya praktek khitan bagi perempuan ini dilakukan atas alasan budaya ataupun mengikuti perintah agama. Tetapi pada kelanjutannya, praktek khitan pada perempuan justru menyebabkan infeksi, masalah pada saluran kencing, trauma psikis, komplikasi saat melahirkan dan bahkan pada beberapa kasus menyebabkan pendarahan.