Pemerintah melarang ekspor batu bara selama pada 1 - 31 Januari untuk mengamankan ketersediaan bahan bakar tersebut bagi pembangkit listrik dalam negeri.
PT PLN (Persero) saat ini sedang mengalami defisit pasokan akibat rendahnya pemenuhan kewajiban penjualan batu bara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) oleh para pengusaha batu bara. Jika kekurangan suplai batu bara tersebut terus terjadi, jutaan pelanggan listrik di Jawa, Madura, Bali (Jamali) dan non-Jamali akan mengalami pemadaman listrik.
“Jika larangan ekspor tidak dilakukan, hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan daya sekitar 10.850 megawatt (MW) akan padam. Ini berpotensi menggangu kestabilan perekonomian nasional,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Jamaludin, Sabtu (1/1), dalam pernyataannya yang diunggah di situs web ESDM.
Ridwan menegaskan bahwa pemerintah akan mengevaluasi kebijakan tersebut setelah 5 Januari 2022. Saat pasokan batu bara untuk pembangkit sudah terpenuhi, katanya, maka kegiatan ekspor akan kembali normal.
BACA JUGA: Daya Rusak Batu Bara: Dari Tambang Hingga Cerobong PembakaranPemenuhan DMO Rendah
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021, produsen batu bara harus mengalokasikan minimal 25 persen dari rencana produksi yang disetujui untuk kebutuhan dalam negeri.
Namun, realisasinya selalu di bawah persentase kewajiban DMO. Akibatnya, di akhir tahun ini pembangkit PLN mengalami defisit pasokan batu bara. Padahal, kata Ridwan, pemerintah telah beberapa kali mengingatkan kepada para pengusaha batu bara untuk terus memenuhi komitmennya dalam memasok kebutuhan PLN.
"Dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari pemerintah, hingga tanggal 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35.000 MT atau kurang dari 1 persen. Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU yang ada," ungkap Ridwan.
Menurutnya, persediaan batu bara yang aman di PLTU PLN adalah di atas 20 hari operasi.
Harga Jual Domestik
Ridwan tidak menjelaskan lebih lanjut penyebab rendahnya pemenuhan DMO. Namun, selisih antara harga jual batu bara domestik yang ditetapkan pemerintah, dan harga ekspor terpaut jauh.
Harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum saat ditetapkan sebesar $70/MT, sedangkan Harga Batu bara Acuan (HBA) untuk Desember saja mencapai $159.79/ton.
HBA, yang digunakan untuk menentukan harga jual batu bara ekspor, mencapai harga rekor pada November 2021, yaitu $215/MT terkerek lonjakan harga batu bara internasional.
Penyetopan Ekspor Merugikan
Sementara dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (1/1), Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyesalkan keputusan tersebut.
APBI mengatakan penyetopan sementara ekspor batu bara akan berdampak negatif, di antaranya mengganggu tingkat produksi nasional sebesar 38-40 juta metrik ton. Akibatnya, pemerintah berpotensi kehilangan devisa hasil ekspor batu bara sekitar $3 miliar per bulan.
Selain itu, APBI juga mengingatkan pelarangan ekspor bisa deklarasi force majeure atau keadaan kahar masif dari para produsen karena tidak bisa mengirimkan batu bara kepada pembeli ekspor yang sudah terkontrak. Akibatnya akan banyak sengketa antara penjual dan pembeli batubara.
"Kapal-kapal yang sedang berlayar ke perairan Indonesia juga akan mengalami kondisi ketidakpastian dan hal ini berakibat pada reputasi dan kehandalan Indonesia selama ini sebagai pemasok batubara dunia," kata APBI dalam pernyataannya.
APBI memberikan sejumlah rekomendasi jangka pendek untuk masalah ini, termasuk menindak tegas pemasuk yang tidak memenuhi kewajiban; menyesuaikan persentase DMO dengan kebutuhan riil pasar domestik; dan menetapkan harga jual yang mengikuti harga pasar untuk menghindari disparitas. [ah/ft]