Pemerintah Masih Perlu Bantuan LSM untuk Atasi Masalah Pekerja Anak

  • Iris Gera

Anak-anak putus sekolah di Yayasan Sekar, Jakarta, Senin, 23 juni 2014, berharap dapat mengubah nasib ke arah lebih baik dengan cara bersekolah (Foto: VOA/Iris Gera)

Dirjen Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muchtar Lutfi, mengakui pemerintah akan sulit menjalankan berbagai program upaya menekan angka pekerja anak tanpa bantuan LSM.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dan Yayasan Sekar menyelenggarakan program Penarikan Pekerja Anak dalam rangka Program Keluarga Harapan (PPA-PKH). Program tersebut dalam rangka memperingati Hari Dunia Menentang Pekerja Anak yang jatuh pada tanggal 12 Juni lalu.

Program PPA-PKH berlangsung selama satu bulan untuk selanjutnya menempatkan anak-anak putus sekolah pada sekolah-sekolah formal.

Menurut Ketua Yayasan Sekar, Wardoyo di Jakarta, Senin (23/6), saat ini sekitar 16 ribu pekerja anak tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Untuk menekan angka pekerja anak ditambahkannya, seluruh pihak harus aktif membantu mengatasinya dengan cara menarik anak-anak tersebut untuk kembali kesekolah.

“Melakukan perlindungan anak, memfasilitasi pemenuhan kebutuhan anak, pendidikan, kesehatan juga kita mengupayakan bagaimana anak-anak itu mempunyai akta kelahiran, bahwa anak bisa tumbuh kembang secara wajarnya seperti anak-anak yang lain. Ini ada pekerja anak, ada anak jalanan, ada anak terlantar dan yatim piatu, anak yang tinggal disini ini adalah yang sudah tidak mendukung untuk tumbuh kembang anak, mereka kita bawa kesini,” kata Wardoyo.

Yayasan Sekar menggunakan dua metoda dalam mengatasi pekerja anak yaitu para pendamping dari yayasan menyebar di berbagai lokasi rentan anak-anak putus sekolah seperti kolong jembatan, dan bantaran sungai serta melalui cara menempatkan beberapa anak yang tergolong sangat miskin di yayasan untuk diberi berbagai kegiatan.

Sementara menurut Dirjen Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muchtar Lutfi, pemerintah sangat membutuhkan bantuan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mengatasi pekerja anak. Ia mengakui pemerintah akan sulit menjalankan berbagai program upaya menekan angka pekerja anak tanpa bantuan LSM.

“Asal ada dananya mencukupi dengan mudahnya kita bekerjasama dengan LSM, pemerhati anak. LSM itu sudah kita latih bagaimana meyakinkan orang tua pengaruhi membujuk anak untuk berhenti bekerja, kembali ke pendidikan, itu door to door karena yang dipentingkan adalah kesediaan kerelaan, kesediaan orang tua, karena ada yang sudah di shelter disusul, nah itu harus LSM membantu kita,” kata Muchtar Lutfi.

Seorang anak putus sekolah, Tommy Wahyudi berusia 16 tahun, mengatakan ingin mengubah hidupnya ke arah lebih baik sehingga ia bertekad ingin bersekolah. Ia mengatakan bersyukur dapat bergabung dalam proragm PPA-PKH dan berharap segera mendapatkan sekolah formal tingkat Sekolah Menegah Pertama atau SMP agar ia dapat melanjutkan cita-citanya sebagai programer musik digital.

“Ingin berubah, belajar musik, belajar olah raga itu yang membuat saya tertarik. Waktu itu saya tidak sekolah, jadi saya putuskan ngamenlah buat jajan sendiri. Setelah saya dapat pekerjaan, saya berhenti mengamen. Pekerjaan saya di pabrik plastik, pendapatan ngamen saya sehari 75, (Rp75 ribu) kalau kerja 55 (Rp 55 ribu) sehari, orang tua saya tukang sayur keliling, saya lima bersaudara, tiga laki-laki, perempuan dua,” kata Tommy Wahyudi.

Menurut catatan ILO, saat ini jumlah pekerja anak didunia menurun dari 215 juta anak menjadi 168 juta anak. Jumlah anak yang terlibat dalam jenis pekerjaan berbahaya seperti diantaranya pertambangan ilegal, menurun dari 115 juta anak menjadi 87 juta anak.