Masa kerja komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2017-2022 akan berakhir pada April tahun depan. Sesuai undang-undang, Oktober ini tim seleksi KPU-Bawaslu baru harus terbentuk untuk segera bekerja.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar menyebut aturan soal waktu pembentukan tim seleksi (Timsel) ada di UU No 7 tahun 2017.
“Tim seleksi itu harus disusun paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan penyelenggara Pemilu,” ujarnya dalam diskusi pembentukan Timsel, Senin (4/10).
Karena akhir masa jabatan KPU dan Bawaslu adalah April 2022, pemerintah harus mulai membentuk Timsel dalam satu atau dua pekan ke depan. Rangkaiannya akan dimulai dari penerbitan Keputusan Presiden mengenai Timsel. Sesuai aturan, jika terdiri dari sebelas orang, maka Timsel akan terdiri dari tiga orang perwakilan pemerintah, empat perwakilan masyarakat dan empat akademisi.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Dr Alfitra Salamm menyarankan pemerintah memperhatikan sejumlah hal dalam pembentukan Timsel. Salah satunya adalah memasukkan tokoh-tokoh dari daerah.
“Timsel selama ini didominiasi orang Jakarta. Meskipun kita tidak meragukan Timsel yang sangat sentralistik, didominasi oleh tokoh nasional, tetapi mungkin perlu dipertimbangkan tokoh daerah yang menurut saya kualitasnya tidak kalah dengan tokoh yang tinggal di Jakarta,” kata Alfitra.
Alfitra juga berharap, ada lebih banyak perempuan dalam Timsel. Di periode lalu, hanya ada satu perempuan dari sebelas orang. Alfitra menyarankan, setidaknya harus ada tiga perempuan di dalamnya.
Setelah Timsel terbentuk, proses akan dimulai dengan pendaftaran calon komisioner KPU dan anggota Bawaslu diikuti sejumlah tes. Timsel kemudian menyerahkan nama-nama kandidat ke Presiden sekitar Februari 2022. Pada Maret, Presiden menyerahkan daftar kandidat ke DPR, diikuti uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR. Proses diakhiri dengan pelantikan komisioner KPU dan anggota Bawaslu terpilih sekitar April 2022.
Proses Penuh Tantangan
Dosen dari Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani melihat proses pengisian komisioner KPU dan anggota Bawaslu penuh tantangan. Salah satu yang paling berat, adalah soal sumber daya yang memiliki potensi.
“Sumber rekrutmen kita itu sebetulnya petahana yang ada sekarang, aktivis LSM terutama pemantau Pemilu, dan akademisi yang bergerak dalam isu kepemiluan atau hukum. Akademisi yang konsen terhadap isu Pemilu juga tidak banyak,” kata Sri Budi.
Tantangan lain adalah soal pengetahuan kepemiluan yang tidak merata di Indonesia. Padahal, komisioner KPU dan anggota Bawaslu tidak hanya di pusat, tetapi juga daerah.
“Kadang-kadang untuk KPU dan Bawaslu di daerah, waktu masuk terpilih itu dia learning by doing. Jadi tentu saja membutuhkan supervisi dari atas,” tambahnya.
Tim seleksi juga akan menemui problem terkait rekam jejak integritas calon, karena minimnya informasi. Proses seleksi juga relatif netral gender, yang justru tidak memberi kesempatan lebih kepada perempuan untuk terpilih. Calon perempuan kadang tersisihkan, karena pertimbangan tertentu, yang menurut Sri Budi perlu pengkajian lebih dalam.
“Ada juga yang ketika seleksi itu hamil dan membuat dia tidak terpilih, karena dianggap orang hamil itu tidak dalam kondisi sehat, dan punya potensi mengganggu pekerjaannya, kalau dia terpilih di Bawaslu atau KPU,” ujar Sri Budi.
Tantangan lain yang tidak kalah besar adalah soal kepentingan politik. Proses seleksi masih sarat kepentingan politik, kata Sri Budi, karena peran DPR yang kuat. Di sisi lain, Sri Budi mengusulkan keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu semestinya bersifat wajib, dan lebih dari satu orang. Dengan kewajiban itu, Timsel dapat merancang daftar nama calon, yang memungkinkan hasil akhir pemilihan memasukkan perempuan di dalamnya.
Sementara Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fisipol, Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati meminta ada rasa saling hormat dan kerja sama erat antara DPR dan Timsel yang terbentuk. Selain itu, kinerja pengawasan sebenarnya tidak boleh berhenti setelah KPU dan Bawaslu baru mulai bekerja.
“Meskipun Timsel dan DPR bekerja keras, tetapi tidak ada jaminan bahwa para penyelenggara Pemilu yang nanti terpilih itu pasti tidak akan melanggar kewenangan. Tidak ada jaminan,” ucap Mada.
Karena itulah, partisipasi publik tidak boleh berhenti hanya pada proses rekrutmen kali ini. Pengawasan kepada KPU dan Bawaslu harus terus berlanjut.
“Jangan sampai berasumsi bahwa, ini sudah pilihan dari Timsel maupun DPR, sehingga menjadi malaikat yang tidak mungkin salah,” tambahnya.
Semua menjadi lebih berat, karena dalam konteks 2024, Pemilu akan lebih berat dari gelaran sebelumnya.
Tidak Bebas Kepentingan
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebut, problem pengelolaan Pemilu ke depan bisa diatasi jika masalah di hulu dapat diselesaikan. Yang dia sebut sebagai masalah di hulu adalah kemampuan menghadirkan komisioner KPU dan anggota Bawaslu pusat yang berintegritas dan berkualitas.
Integritas dan kualitas KPU dan Bawaslu Pusat atau berdampak besar bagi jajaran mereka hingga ke bawah. Selain terkait kepemimpinan, pemahaman tentang kepemiluan dan soal-soal teknis harus dikuasai dengan baik. Komisi II, kata Ahmad Doli, berkomitmen mendorong proses awal sampai akhir bisa memenuhi standar.
“Kita berupaya semaksimal mungkin menghindari adanya subyektivitas, dan kepentingan-kepentingan, terutama kepentingan politik,” ujarnya.
Dengan alasan itu pulalah, Timsel dibuat oleh pemerintah. DPR berharap pemerintah berdiri di atas semua kepentingan.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Junimart Girsang juga mengakui, bahwa faktor kepentingan akan selalu ada.
“Kita jujur, bahwa dalam kita hidup ini semua pasti kita punya kepentingan. Tetapi kita membedakan mana kepentingan politik, mana kepentingan pribadi, mana kepentingan komunal dan mana kepentingan yang lain,” ujarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Seluruh proses yang berlangsung dalam di KPU dan Bawaslu, adalah kepentingan politik. Tetapi, kata Junimart, kepentingan politik itu tidak boleh merugikan siapapun. Komisi II sendiri sudah mulai membuka percakapan terkait uji kepatutan dan kelayanan nantinya. DPR menjanjikan upaya pendalaman rekam jejak para calon dengan sepenuhnya.
“Untuk mendapatkan komisioner KPU dan anggota Bawaslu yang sudah selesai dengan diri sendiri,” kata Junimart.
DPR tidak mau, ada kasus korupsi baik di KPU pusat maupun daerah, seperti yang terjadi sebelum ini. [ns/ab]