Pemerintah sedang melakukan evaluasi komprehensif terkait penghentian izin smelter-smelter RKEF yang memproduksi produk-produk berupa feronikel dan nikel pig iron (NPI), kata pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Selasa (11/6).
Indonesia, yang merupakan produsen nikel terbesar di dunia, mengalami penipisan cadangan bijih nikel yang cepat setelah peningkatan investasi hilir, sehingga mendorong pemerintah mencari cara untuk mencadangkan stok produk dengan nilai tambah lebih tinggi, seperti bahan kimia nikel yang digunakan dalam pembuatan baterai kendaraan listrik.
Irwandy Arif, pejabat senior Kementerian ESDM, mengatakan pemerintah akan fokus pada pengembangan smelter High Pressure Acid Leach (HPAL) - yang mengekstraksi nikel dan kobalt dari bijih laterit untuk menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate, bahan prekursor. untuk industri baterai -- dan smelter-smelter yang memproduksi nickel matte.
Tidak jelas apakah kemungkinan penghentian ini akan berlaku juga pada izin yang sudah dikeluarkan.
BACA JUGA: Hilirisasi Nikel, Siapa yang Untung dan Siapa yang 'Buntung'?Cadangan bijih dengan kadar di atas 1,5% diperkirakan akan bertahan hingga tahun 2029 dengan asumsi tidak ada eksplorasi lebih lanjut, kata Irwandy kepada peserta konferensi industri yang diselenggarakan oleh Shanghai Metal Market.
Indonesia yang pernah menjadi eksportir utama bijih nikel, melarang pengiriman nikel yang belum diolah pada tahun 2020 untuk menarik investasi dalam negeri.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) juga mendesak pemerintah untuk memberlakukan moratorium pabrik pirometalurgi baru untuk memperpanjang umur cadangan bijih kadar tinggi.
Bijih nikel kadar tinggi -- atau dengan kandungan nikel sedikitnya 1,7% -- digunakan di Indonesia terutama untuk memproduksi NIP, yang merupakan bahan baku baja tahan karat, sementara baterai EV menggunakan bijih dengan kadar nikel lebih rendah. [ab/ns]