Menanggapi adanya kandungan arsenik di dalam beras impor asal Thailand, pemerintah mengimbau rakyat tidak khawatir, karena pemerintah sangat berhati-hati dalam melakukan seleksi impor kebutuhan pangan.
Penelitian yang dilakukan "Consumer Report", sebuah majalah yang menerbitkan review dan perbandingan produk serta jasa berdasarkan hasil laporan uji coba laboratorium, mengungkapkan beras asal Thailand yang beredar di Amerika Serikat mengandung 2,7 sampai 3,9 mikrogram arsenik per 45 gram beras.
Terkait hal tersebut, Menteri Pertanian, Suswono menegaskan pemerintah RI sangat berhati-hati memeriksa setiap produk impor termasuk beras.
“Kalau kaitan dengan keamanan pangan, itu sudah ada wilayahnya. Nanti karantina akan memeriksa setiap produk yang masuk ke wilayah Indonesia dan pasti akan diperiksa secara ketat. Jadi tidak perlu khawatir,” demikian ungkap Menteri Pertanian Suswono.
Selama periode Agustus 2011 hingga Februari 2012 pemerintah mengimpor beras sekitar 1,8 juta ton dan 450 ribu ton diantaranya dari Thailand. Pemerintah menargetkan produksi beras tahun ini mencapai 38 juta ton, sementara kebutuhan nasioal diperkirakan mencapai 34 juta ton sehingga masih surplus 4 juta ton.
Namun untuk menjaga agar stok beras aman, pemerintah tetap melakukan impor. Negara pengekspor beras terbesar bagi Indonesia adalah Vietnam, disusul Thailand dan Tiongkok. Mulai tahun 2014 pemerintah menargetkan surplus beras 10 juta ton sebagai langkah awal mencapai target swasembada beras tahun 2015.
Aktivis Koalisi Rakyat untuk Ketahanan Pangan, Said Abdullah berpendapat impor beras yang dilakukan pemerintah saat ini dikarenakan pemerintah belum berpihak kepada petani dan belum berupaya maksimal memberdayakan para petani. Menurut Said Abdullah, jika pemerintah berpihak ke petani, impor beras sudah tidak perlu lagi dilakukan.
Kekhawatiran pemerintah selama ini bahwa produksi beras dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan nasional tidak selamanya bisa dibenarkan karena menurutnya para petani sangat produktif.
“Pemerintah mereduksi peran dan posisi petani (dalam) persoalan di pertanian dan pangan ini. Pemerintah selalu bilang bahwa kita sudah membantu petani dengan menyediakan subsidi benih, pupuk, dia nggak pikir bagaimana akses petani ke permodalan yang tidak mencekik, tidak memikirkan bagaimana petani juga memiliki hak untuk menentukan proses produksi yang baik menurut mereka," ungkap Said Abdullah.
"Selama ini kebijakan dan arah pembangunan pertanian lebih banyak didesain di belakang meja kan, cenderung kontraproduktif karena tidak sesuai dengan kondisi lokal dipetani dan kemauan petani,” lanjutnya.
Ketua Kelompok Kerja bidang Penyangga Pangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau HKTI, Ismet Hasan Putro berpendapat senada bahwa pemerintah belum berpihak ke petani. Pemerintah ditegaskannya lebih berminat berbisnis dengan para importir dibanding berupaya maksimal memberdayakan petani.
“Itu adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi bangsa ini yang juga diproduksi oleh para petani secara massal. Tetapi pada faktanya, pemerintah sering sekali lalai terhadap nasib para petani, karena pemerintah lebih mengutamakan kepentingan importir,” kata Ismet Hasan Putro.
Terkait hal tersebut, Menteri Pertanian, Suswono menegaskan pemerintah RI sangat berhati-hati memeriksa setiap produk impor termasuk beras.
“Kalau kaitan dengan keamanan pangan, itu sudah ada wilayahnya. Nanti karantina akan memeriksa setiap produk yang masuk ke wilayah Indonesia dan pasti akan diperiksa secara ketat. Jadi tidak perlu khawatir,” demikian ungkap Menteri Pertanian Suswono.
Selama periode Agustus 2011 hingga Februari 2012 pemerintah mengimpor beras sekitar 1,8 juta ton dan 450 ribu ton diantaranya dari Thailand. Pemerintah menargetkan produksi beras tahun ini mencapai 38 juta ton, sementara kebutuhan nasioal diperkirakan mencapai 34 juta ton sehingga masih surplus 4 juta ton.
Namun untuk menjaga agar stok beras aman, pemerintah tetap melakukan impor. Negara pengekspor beras terbesar bagi Indonesia adalah Vietnam, disusul Thailand dan Tiongkok. Mulai tahun 2014 pemerintah menargetkan surplus beras 10 juta ton sebagai langkah awal mencapai target swasembada beras tahun 2015.
Aktivis Koalisi Rakyat untuk Ketahanan Pangan, Said Abdullah berpendapat impor beras yang dilakukan pemerintah saat ini dikarenakan pemerintah belum berpihak kepada petani dan belum berupaya maksimal memberdayakan para petani. Menurut Said Abdullah, jika pemerintah berpihak ke petani, impor beras sudah tidak perlu lagi dilakukan.
Kekhawatiran pemerintah selama ini bahwa produksi beras dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan nasional tidak selamanya bisa dibenarkan karena menurutnya para petani sangat produktif.
“Pemerintah mereduksi peran dan posisi petani (dalam) persoalan di pertanian dan pangan ini. Pemerintah selalu bilang bahwa kita sudah membantu petani dengan menyediakan subsidi benih, pupuk, dia nggak pikir bagaimana akses petani ke permodalan yang tidak mencekik, tidak memikirkan bagaimana petani juga memiliki hak untuk menentukan proses produksi yang baik menurut mereka," ungkap Said Abdullah.
"Selama ini kebijakan dan arah pembangunan pertanian lebih banyak didesain di belakang meja kan, cenderung kontraproduktif karena tidak sesuai dengan kondisi lokal dipetani dan kemauan petani,” lanjutnya.
Ketua Kelompok Kerja bidang Penyangga Pangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau HKTI, Ismet Hasan Putro berpendapat senada bahwa pemerintah belum berpihak ke petani. Pemerintah ditegaskannya lebih berminat berbisnis dengan para importir dibanding berupaya maksimal memberdayakan petani.
“Itu adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi bangsa ini yang juga diproduksi oleh para petani secara massal. Tetapi pada faktanya, pemerintah sering sekali lalai terhadap nasib para petani, karena pemerintah lebih mengutamakan kepentingan importir,” kata Ismet Hasan Putro.