Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memicu kekhawatiran sebagian masyarakat, sebagai upaya melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebab ada sejumlah aturan dalam rancangan KUHP yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat itu yang tidak menguntungkan KPK sebagai lembaga antirasuah.
Namun Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menepis kecemasan tersebut. Dia menegaskan pemerintah tidak pernah memiliki niat untuk melemahkan KPK.
"Tidak ada pemerintah, niatan kita, siapapun, untuk melemahkan KPK kan nggak pernah ada. KPK itu kan adalah instrumen yang sekarang ini "sakti" untuk menghentikan, memberantas korupsi. Ini sudah bagus diteruskan," kata Wiranto.
Meski begitu, Wiranto mengingatkan KPK agar tidak berjalan sendiri dan harus mematuhi undang-undang karena lembaga ini berada dalam sistem negara. Dia menekankan KPK juga harus sinkron atau sejalan dengan institusi lain dalam pemberantasan korupsi.
Wiranto menambahkan jika rancangan KUHP disahkan, Undang-undang KPK tetap menjadi aturan khusus bagi lembaga antirasuah tersebut. Dia mengatakan adanya delik pidana korupsi dalam rancangan KUHP merupakan bentuk kodifikasi hukum.
KPK menyatakan menolak pasal-pasal tentang pidana korupsi yang dimasukkan dalam revisi KUHP. KPK menilai pasal-pasal tentang pidana korupsi yang dimasukkan dalam KUHP dapat mengancam pemberantasan korupsi. KPK juga sudah menyampaikan penolakannya kepada Presiden Joko Widodo melalui sepucuk surat.
Salah satu alasan penolakan KPK itu adalah dalam rancangan KUHP itu tidak disebutkan dengan jelas mengenai kewenangan KPK dalam penanganan korupsi.
Alasan lainnya adalah sanksi pidana bagi koruptor yang lebih rendah yang diatur dalam rancangan KUHP dibandingkan dengan hukuman yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Yang jadi persoalan adalah berapapun nilainya maka ancaman hukumannya leboh rendah, apakah ini yang diinginkan oleh pembuat undang-undang, untuk lebih kompromi misalnya dengan upaya pemberantasan korupsi," jelas Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Anggota Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arsul Sani menegaskan pula tidak ada niat dari DPR untuk melemahkan KPK.
Your browser doesn’t support HTML5
Sebagian masyarakat mencemaskan KUHP baru nanti akan menggantikan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Contohnya adalah pengurangan jumlah hukuman.
Dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, ancaman pidana penjara minimum empat tahun, ada ancaman pidana mati, dan pidana denda maksimum Rp 1 miliar. Sedangkan dalam rancangan KUHP, minimum pidana penjara menjadi dua tahun, tidak mencantumkan pidana mati dan seumur hidup, serta penambahan pidana denda menjadi maksimum Rp 2 miliar.
Selain itu, pasal 723 dalam rancangan KUHP berpotensi mewajibkan penegak hukum, termasuk KPK yang mengusut perkara korupsi, untuk menggunakan KUHP ketimbang aturan lain, seperti Undang-undang KPK. [fw/lt]