Pemerintah Tunda Upaya Gabung Uni Eropa, Demo Pecah di Georgia 

Polisi antihuru-hara bersiap saat para demonstran pendukung kubu oposisi menggelar aksi protes di Tbilisi, Georgia, pada 29 November 2024, menyusul pengumuman pemerintah yang menunda proses aplikasi untuk bergabung dengan Uni Eropa. (Foto: Reuters/Irakli Gedenidze)

Aksi demo pecah di Georgia pada Kamis (28/11), setelah Perdana Menteri Irakli Kobakhidze mengatakan, negara itu tidak akan mengupayakan keanggotaan Uni Eropa hingga 2028. Pemerintah negara itu juga menuduh Uni Eropa melakukan “pemerasan”.

Pengumuman itu muncul beberapa jam, setelah Parlemen Eropa mengadopsi resolusi tidak mengikat yang menolak hasil pemilihan parlemen Georgia pada 26 Oktober, dengan tuduhan “ketidakberesan yang signifikan”.

Resolusi itu menyerukan pemilihan baru dalam waktu satu tahun di bawah pengawasan internasional dan sanksi yang akan dijatuhkan kepada para pejabat tinggi Georgia, termasuk Kobakhidze.

Menuduh Parlemen Eropa dan “beberapa politisi Eropa” melakukan “pemerasan”, Kobakhidze mengatakan, “Kami telah memutuskan untuk tidak mengangkat isu bergabung dengan Uni Eropa dalam agenda hingga akhir tahun 2028”.

BACA JUGA: Protes Aturan Properti, Demonstran di Abkhazia, Wilayah Pecahan Georgia, Duduki Gedung Pemerintah

Namun, dia berjanji untuk terus melaksanakan reformasi, dengan menegaskan bahwa “pada 2028, Georgia akan lebih siap daripada negara kandidat lainnya untuk membuka pembicaraan keanggotaan dengan Brussels dan menjadi negara anggota pada 2030”.

Negara bekas Uni Soviet itu secara resmi memperoleh status kandidat Uni Eropa pada Desember 2023.

Namun, Brussels telah membekukan proses aksesi Georgia hingga Tbilisi mengambil langkah konkret untuk mengatasi apa yang disebutnya kemunduran demokrasi.

Anggota parlemen oposisi memboikot parlemen baru, menuduh adanya kecurangan dalam pemilihan umum pada Oktober, di mana partai berkuasa Georgian Dream memperoleh mayoritas baru.

Presiden pro-Barat Salome Zurabishvili - yang berselisih dengan Partai Georgian Dream - telah menyatakan pemungutan suara itu “inkonstitusional” dan berupaya untuk membatalkan hasil pemilihan melalui Mahkamah Konstitusi.

Menyusul pernyataan Kobakhidze, protes jalanan meletus di Tbilisi dan beberapa kota besar di Georgia.

BACA JUGA: Sejumlah Anggota Parlemen Eropa Ikut Dorong Keanggotaan Georgia di Uni Eropa 

Sambil melambaikan bendera Uni Eropa dan Georgia, ribuan orang berunjuk rasa di luar parlemen, memblokir lalu lintas di jalan utama ibu kota Georgia.

“Georgian Dream tidak memenangkan pemilihan umum, mereka melakukan kudeta. Tidak ada parlemen atau pemerintahan yang sah di Georgia,” kata demonstran berusia 20 tahun, Shota Sabashvili.

“Kami tidak akan membiarkan perdana menteri yang memproklamirkan diri ini menghancurkan masa depan Eropa kami,”tambah dia.

Di kota Kutaisi, polisi menahan beberapa demonstran, lapor stasiun TV independen Pirveli. Zurabishvili mengadakan “pertemuan darurat” dengan para diplomat asing, kata kantornya.

“Hari ini menandai titik penting, atau lebih tepatnya, akhir dari kudeta konstitusional yang telah berlangsung selama beberapa pekan,” katanya dalam konferensi pers bersama para pemimpin oposisi.

“Hari ini, pemerintah yang tidak ada dan tidak sah ini menyatakan perang terhadap rakyatnya sendiri,” tambahnya, sambil menyebut dirinya sebagai “satu-satunya wakil sah negara”. [ns/ab]