Pekan ini merupakan minggu yang menunjukkan geliat penting perempuan di dunia. Di Afghanistan, tiga puluh persen dari sembilan setengah juta warga Afghanistan ikut memberikan suara dalam pemilu presiden Sabtu (27/9). Sementara di Ghana, puluhan perempuan berdemonstrasi memprotes kekebalan hukum yang diberikan terhadap sebagian pelaku serangan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Hari Sabtu (27/9) ini menandai pemilu presiden keempat ke Afghanistan sejak tergulingnya Taliban tahun 2001. Baik pemerintah maupun negara-negara lain yang berkepentingan dengan Afghanitan telah menggembar-gemborkan kemajuan yang dibuat negara itu dalam dua puluh tahun terakhir, terutama dalam hak-hak perempuan.
Namun jajak pendapat Gallup menunjukkan hampir setengah dari perempuan Afghanistan merasa sangat tidak puas dengan kehidupan mereka dan lebih suka untuk meninggalkan negara itu selamanya. Banyak dari mereka yang menunjukkan rasa frustasi dengan memutuskan untuk tidak menggunakan hak suaranya. Diantaranya adalah Shabnam Yusufi dari Kabul.
“Dalam lima tahun terakhir pemerintah tidak memberikan sesuatu yang berharga bagi kami. Mereka tidak melakukan apapun, terutama bagi perempuan. Kandidat lain juga hanya menyampaikan janji-janji kosong. Tidak ada yang akan berubah," kata Shabnam.
Setelah adanya tuduhan penipuan besar-besaran dalam pemilu sebelumnya, untuk memberikan suara dalam pemilu Sabtu ini setiap pemilih disyaratkan untuk difoto dan diambil sidik jarinya. Di beberapa bagian negara itu yang secara budaya konservatif itu, para aktivis menyampaikan kekhawatirannya bahwa otorita pemilu belum berhasil melakukan pekerjaan dengan baik untuk menjelaskan bahwa semua suara akan dirahasiakan.
BACA JUGA: Perempuan Afghanistan Rasakan Perubahan Sikap Taliban pasca Pembicaraan Doha“Di wilayah ini, soal foto dan sidik jari merupakan masalah sensitif. Terutama di daerah pedesaan dan distrik kami ini. Sangat sulit meyakinkan perempuan untuk memilih jika mereka harus difoto. Hal ini membuat banyak perempuan memilih tinggal di rumah saja," kata Maryam Durrani, seorang aktivis di Kandahar.
Hingga laporan ini disampaikan, sudah lebih dari tiga juta perempuan mendaftar untuk memberikan suara mereka. Sebagian dari mereka berusia muda dan penuh harapan. Mereka ingin mengendalikan nasib mereka sendiri.
“Kami akan memberikan suara. Kami ingin menentukan masa depan kami sendiri. Ini merupakan tanggungjawab setiap warga Afghanistan. Jika kita tidak memilih, kita tidak dapat menuntut hak kita dari pemerintah berikutnya," kata Shabnam Nooris, seorang warga Kabul.
Para kandidat berupaya keras untuk membujuk kelompok ini karena pemilu kali ini diperkirakan akan berlangsung sengit, dan tiga juta suara perempuan merupakan jumlah yang besar. Itulah sebabnya para kandidat menjanjikan kebijakan dan program yang akan melindungi hak-hak perempuan, meskipun masih harus ditunggu apakah janji-janji ini akan ditepati atau tidak.
Gerakan #MeToo di Ghana
Sementara itu di Ghana, puluhan perempuan berdemonstrasi di kota Accra untuk memprotes kekebalan hukum yang diberikan pada sebagian pelaku serangan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan. Para korban kekerasan dalam rumah tangga dan serangan seksual secara terbuka menyebut nama-nama para pelaku kekerasan, sambil mengecam keras otorita berwenang yang tidak menjadikan isu keselamatan perempuan dan anak perempuan Ghana sebagai prioritas utama.
Penyelenggara demonstrasi itu, Eugenia Baffour Bankoh, mengatakan bahwa demonstrasi akhir pekan ini dilakukan untuk menarik perhatian pada satu kasus baru-baru ini, di mana empat perempuan muda diculik dan dibunuh di bagian barat Ghana. Polisi dinilai melakukan kesalahan dalam menyelidiki kasus itu.
“Rata-rata perempuan Ghana masih hidup dalam kenyataan bahwa mereka setiap hari masih hidup bersama dengan pelaku kekerasan, menghadapi polisi atau sistem pengadilan yang sama sekali tidak mendukung mereka, juga komunitas dan orang-orang di sekitar yang senantiasa mempermalukan mereka," kata Eugenia.
Jika tidak dicap atau diberi stigma sebagai perempuan nakal atau tidak benar, katanya, sistem patriarki saja sudah tidak mendukung perempuan, terutama mereka yang menjadi korban.
"Jadi masih ada jalan berliku yang harus dilewati, meskipun saya kira langkah pertama merupakan sesuatu yang penting. Itulah sebabnya kami datang langsung ke lapangan," tambah Eugenia.
BACA JUGA: Melania Trump Kunjungi Ghana, Persinggahan Pertama dalam Lawatan ke AfrikaDengan mengenakan pakaian berwarna hitam, para demonstran di jalan-jalan di Accra membawa poster seruan untuk menyudahi pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga. Sebagian poster berisi nama-nama korban. Banyak warga yang berhenti untuk menonton demonstrasi ini. Sebagian mobil bahkan membunyikan klakson, menunjukkan dukungan pada para demonstran.
Salah seorang demonstran, Pokuaa Adu, mengatakan ia mengikuti demonstrasi itu karena separuh dari jumlah penduduk Ghana adalah perempuan, tetapi mereka tetap menjadi target.
Hal ini merupakan sentimen yang disampaikan penyiar radio, aktivis dan feminis, Felicity Nana Nelson. Ia menggunakan radio dan media sosial sebagai wahana untuk menyuarakan hak-hak perempuan dan sekaligus menuntut pertanggungjawaban para pelaku. Ia merupakan salah satu suara perempuan yang didengar di Ghana.
“Saya memasukkan isu gender dalam setiap agenda kegiatan saya. Ini merupakan hal penting. Ketika ada isu yang muncul, kita harus senantiasa melihat bagaimana perspektif perempuan tentang hal ini, bagaimana dampaknya terhadap perempuan, dan lain-lain. Jadi saya berupaya memunculkan isu-isu itu," kata Felicity.
Demonstrasi itu berakhir dengan penyalaan lilin bagi seluruh korban serangan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, dan untuk menunjukkan solidaritas pada gerakan #MeToo yang sedang menggema di seluruh belahan dunia. [em/jm]