Pemilu Bangladesh yang Sepihak Dikhawatirkan Ciptakan Kekuasaan Satu Partai

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina (kiri) tiba di lokasi konferensi pers di Dhaka, pada 8 Januari 2024, menyusul kemenangannya dalam pemilu yang digelar sehari sebelumnya. (Foto: Bangladesh Prime Minister's office via AP)

Meskipun ada jaminan dari sekelompok pengamat internasional bahwa pemilu di Bangladesh pada tanggal 7 Januari lalu berlangsung “bebas, adil dan damai”, para pejabat dari beberapa negara telah menyatakan keraguan atas kredibilitas hasil pemilu tersebut.

Bangladesh mengadakan pemilihan parlemen ke-12 pada hari Minggu (7/1), dan Liga Awami pimpinan Perdana Menteri Sheikh Hasina memenangkan masa jabatan keempat berturut-turut. Namun banyak partai politik, termasuk Partai Nasionalis Bangladesh, atau BNP, yang merupakan oposisi utama, memboikot pemilu tersebut.

Bulan-bulan sebelum pemungutan suara diwarnai dengan protes yang terkadang berujung pada kekerasan. Tindakan keras terhadap aktivis oposisi menyebabkan puluhan ribu orang dipenjara.

Sekelompok pengamat internasional yang diundang oleh Komisi Pemilihan Umum Bangladesh termasuk mantan anggota Kongres AS Jim Bates mengunjungi beberapa tempat pemungutan suara di Dhaka saat para pemilih memberikan suara mereka. Pada konferensi pers setelah pemungutan suara ditutup, mereka menyampaikan penilaian yang baik atas perolehan suara tersebut.

BACA JUGA: China Ucapkan Selamat kepada Partai Berkuasa di Bangladesh Atas Keberhasilan Pemilu

“Saya ingin mengatakan bahwa ini adalah pemilu yang bebas dan adil,” kata Bates sebelum hasilnya diumumkan.

Namun juru bicara Departemen Luar Negeri AS kepada VOA melalui email mengatakan bahwa “Pemerintah Amerika Serikat tidak menurunkan tim pemantau pada pemilu Parlemen Bangladesh tahun 2024. Orang-orang yang dimaksud, bertindak sebagai warga negara. … Komentar mereka tidak mewakili pandangan dari pemerintah AS."

Sebaliknya, Amerika Serikat , Inggris, dan PBB mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan kekhawatiran terhadap proses demokrasi secara umum dan situasi hak asasi manusia.

“Amerika Serikat mempunyai pandangan yang sama dengan para pengamat lain bahwa pemilu ini tidak berjalan dbebas atau adil dan kami menyesalkan tidak semua pihak berpartisipasi,” kata Mathew Miller, juru bicara Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan. “Amerika Serikat mengutuk kekerasan yang terjadi selama pemilu dan pada bulan-bulan menjelang pemilu.”

“Penghormatan terhadap hak asasi manusia, supremasi hukum dan proses hukum merupakan elemen penting dari proses demokrasi,” kata Kantor Luar Negeri, Persemakmuran dan Pembangunan Inggris dalam pernyataannya. “Standar-standar ini tidak dipenuhi secara konsisten selama periode pemilu.”

Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk mengatakakan, “Dalam beberapa bulan menjelang pemungutan suara, ribuan pendukung oposisi telah ditahan secara sewenang-wenang atau menjadi sasaran intimidasi. Taktik seperti itu tidak kondusif bagi proses yang sesungguhnya.”

Sejumlah warga membaca koran yang tertempel di dinding di sebuah area di Dhaka, sehari setelah pemilu berlangsung di Bangladesh pada 8 Januari 2024. (Foto: Reuters/Mohammad Ponir Hossain)

Turk juga mendesak pemerintah Bangladesh untuk menciptakan kondisi demokrasi yang benar-benar inklusif.

Meskipun negara-negara demokrasi Barat dan organisasi internasional sangat kritis terhadap pemilu tersebut, beberapa negara, termasuk China, Rusia, dan India, dengan cepat memberikan ucapan selamat kepada Hasina.

Utusan China di Bangladesh adalah orang pertama yang mengucapkan selamat kepada Hasina. Perdana Menteri India Narendra Modi menelepon untuk memuji kemenangannya dan menyampaikan harapanan untuk melanjutkan hubungan dekat dengan tetangganya.

“Berbicara dengan Perdana Menteri Sheikh Hasina dan mengucapkan selamat atas kemenangannya untuk masa jabatan keempat berturut-turut dalam pemilihan parlemen. … Kami berkomitmen untuk lebih memperkuat kemitraan kami yang abadi dan berpusat pada masyarakat dengan Bangladesh,” tulis perdana menteri India di platform X.

Boikot menyebabkan rendahnya jumlah pemilih

Koalisi oposisi menuntut pengunduran diri pemerintah menjelang pemilu dan penunjukan pemerintahan sementara yang non-partisan. Ketika pemerintahan Hasina menolak, BNP mengumumkan gerakan non-kooperatif melawan pemerintah, mendesak masyarakat untuk tidak bekerja sama dengan pemerintah atau berpartisipasi dalam pemilu.

Angka resmi yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum menunjukkan tingkat partisipasi pemilih sebesar 41,8%. Namun kredibilitas jumlah tersebut dipertanyakan oleh berbagai media internasional, pengamat, organisasi hak asasi manusia, dan bahkan oleh sebagian peserta pemilu.

Salah satu alasan kecurigaan yang muncul adalah lonjakan jumlah pemilih yang tidak biasa. Sekretaris Komisi Pemilihan Umum memperkirakan jumlah pemilih mencapai 27,15% satu jam sebelum pemungutan suara ditutup. Namun angka akhir yang diberikan komisi adalah 41,8%. Para penentang mengatakan klaim bahwa lebih dari sepertiga suara diberikan pada jam-jam terakhir pemungutan suara membuat angka resmi tersebut sangat diragukan.

Pada pemilu 2018, jumlah pemilih mencapai lebih dari 80%.

Aturan satu partai

Di antara 298 hasil yang diumumkan secara resmi, 280 kursi diperoleh oleh Liga Awami yang berkuasa dan kandidat independen yang merupakan anggota partai Liga Awami.

Akibatnya, 94% kursi parlemen akan diisi oleh anggota parlemen yang merupakan anggota partai yang berkuasa.

Dari 27 partai yang mengajukan calon pada pemilu tersebut, 23 partai gagal memperoleh satu kursi pun.

GM Qader, ketua Partai Jatiya yang berhasil meraih 11 kursi, mengatakan kepada stasiun TV lokal bahwa pemilu diadakan di bawah kendali pemerintah.

“Siapapun yang diinginkan pemerintah untuk menang, dialah yang menang,” kata Qader. “Saya yakin pemilu ini tidak akan mendapatkan kredibilitas.”

Profesor Ali Riaz, seorang analis politik di Illinois State University, mengatakan dalam podcast di Global News baru-baru ini bahwa Bangladesh sedang menuju pemerintahan satu partai dengan Liga Awami memegang kekuasaan dan partai-partai lain merupakan oposisi di parlemen dengan dukungan dari partai yang berkuasa.

Perdana Menteri Hasina dalam dua kesempatan baru-baru ini menyebut BNP sebagai organisasi teroris, sehingga menimbulkan spekulasi di kalangan analis politik dan aktivis bahwa pemerintahan baru mungkin akan melarang BNP berpolitik. [my/jm]