Pemilu: Pemilih Perempuan Tak Otomatis Dukung Calon Perempuan

  • Nurhadi Sucahyo

Petugas pemilu memakai masker pelindung saat pemilihan kepala daerah di Denpasar, Provinsi Bali, 9 Desember 2020. (Foto: Antara/Fikri Yusuf via Reuters)

Jumlah pemilih di Indonesia berimbang antara laki-laki dan perempuan. Namun hasil Pemilu dalam tingkat apapun, tidak menggambarkan keberimbangan itu. Pemilih perempuan di Indonesia, belum mendukung calon perempuan dalam kontestasi politik.

Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, Rahmatun Nisa Amerta menyebut, setidaknya ada tiga alasan mengapa kondisi itu terjadi. Pertama, adanya persepsi keliru tentang perempuan, yang selama ini mendominasi konsepsi hubungan kemasyarakatan.

Konsepsi itu misalnya, melihat perempuan cenderung tidak layak atau tidak cakap dalam ranah politik. Perempuan memandang politik sebagai area maskulin. Karena itu muncul ketidakpercayaan terhadap politisi perempuan yang mencalonkan diri dalam Pemilu atau Pilkada.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Universitas Andalas, Padang, Rahmatun Nisa Amerta. (Foto: VOA/Tangkapan layar)

“Kita selama ini berkampanye soal women support women. Faktanya di masyarakat, perempuan sendiri merasa ketika ada perempuan yang mendeklarasikan dirinya untuk terlibat dalam Pemilu maupun penyelenggaraan Pemilu, dianggap bahwa mereka tidak cakap dalam ranah politik,” kata Nisa, dalam diskusi “Mendorong Keterwakilan Perempuan dalam Penyelenggaraan Pemilu,” yang diselenggarakan Pusako, pada Senin (27/12).

Penyebab kedua, menurut Nisa, berakar pada budaya patriarki dan misoginis yang berdampak serius, dalam politik maupun bidang lain. Karena rendahnya keterwakilan perempuan, kebijakan yang diterapkan juga tidak mendukung. Nisa memberi contoh, pendidikan politik bagi perempuan masih sangat kurang di Indonesia.

Faktor ketiga, menurut Nisa adalah kurangnya mekanisme pada semua level, dalam upaya memajukan perempuan. Banyak kebijakan atap aturan mempersulit perempuan, misalnya politik berbiaya tinggi yang menyulitkan bagi perempuan.

BACA JUGA: Pengamat: Pemerintah Terlalu Dominan dalam Penentuan Jadwal Pemilu 2024

Hasil Belum Representasikan Pemilih

Komisoner KPU RI, Evi Novida Ginting menyebut, jumlah pemilih dalam Pemilu 2019 adalah 192.770.611. Dari jumlah itu, sebanyak 96.538.965 atau 50,07 persen adalah pemilih perempuan .

Idealnya, kata Evi, jumlah pemilih itu tergambarkan dalam komposisi wakil rakyat hasil pemilihan.

“Mestinya, di struktur lembaga perwakilan, hasil pemilunya merepresentasikan jumlah perempuan yang sama. Tetapi, sampai saat ini kita belum bisa mencapai itu. Terakhir kita baru mencapai 21 persen keterwakilan perempuan di DPR,” ujar Evi.

Komisoner KPU RI, Evi Novida Ginting. (Foto: VOA/Tangkapan layar)

Padahal, upaya afirmasi sudah dilakukan sejak dalam pembentukan KPU di daerah, kata Evi.

Pihaknya selalu berpesan kepada tim seleksi KPU daerah, agar optimal melakukan sosialisasi ke kelompok perempuan agar mendaftar dalam proses seleksi. Dalam tahap tes psikologi, tim seleksi juga diminta meloloskan setidaknya 30 persen perempuan, begitu juga dalam tahap pemilihan sepuluh atau empat belas besar calon.

“Walapun dalam praktiknya, tidak menjadi jaminan, ketika tim seleksinya perempuan, dia juga bisa mengutamakan atau mendorong perempuan bisa masuk ke dalam tahapan-tahapan tersebut,” lanjut Evi.

Tidak jarang, anggota tim seleksi perempuan tidak mau menerapkan politik afirmasi. Sebaliknya tim seleksi laki-laki justru lebih terbuka dan memahami pentingnya kebijakan tersebut.

Saat ini, di KPU 34 Provinsi terdapat 159 komisioner laki-laki dan 39 komisoner perempuan, atau hanya 19 persen komisioner perempuan. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, ada 2.026 komisioner laki-laki dan hanya 444 komisioner perempuan atau 17 persen saja.

Seorang petugas pemilu membantu seorang perempuan lanjut usia untuk menandai jarinya dengan tinta setelah memberikan suaranya pada Pilkada di Tangerang, Banten, pada 27 Juni 2018. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Pengalaman Khas Perempuan

Yayasan Perludem mencatat, memang terdapat peningkatan jumlah perempuan yang terpilih di DPR. Pada Pemilu 1999 hanya ada sembilan persen atau 45 perempuan di parlemen. Namun jumlah itu meningkat menjadi 11 persen (61 orang) pada 2004, naik lagi menjadi 18,4 persen (101 orang) pada 2009, lalu sempat turun menjadi 17,6 persen (97 orang) pada 2014, tetapi kembali naik menajdi 20,5 (118 orang) pada 2019.

Padahal menurut Khoirunnisa Nur Agustyati dari Perludem, kehadiran perempuan tidak hanya mewakili jenis kelamin, tetapi juga perspektif. Hadirnya perempuan di lembaga eksekutif atau legislatif, dengan pengalaman khas sebagai perempuan, akan mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan yang sesuai kebutuhan perempuan.

Peneliti Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati. (Foto: VOA/Tangkapan layar)

“Misalnya, untuk perempuan bekerja butuh tempat penitipan anak, ada ruang menyusui di perkantoran. Kaalu ada perempuan yang duduk sebagai anggota legislatif atau bahkan kepala daerah, mungkin bisa mengeluarkan Perda-Perda terkait,” kata Khoirunnisa.

Kebijakan semacam itu, tambahnya, mungkin tidak terpikirkan oleh legislator atau kepala daerah laki-laki, karena pengalaman itu dialami perempuan secara khas.

Global State of Democracy, lanjut Khoirunnisa, memang mencatat adanya pelambatan demokrasi, tidak saja di Indonesia, tetapi juga dunia. Salah satu faktornya adalah gender parity di parlemen. Menurut perhitungan GSoD, setidaknya baru pada tahun 2065 kondisi ideal terkait ini di dunia akan dapat dicapai.

Untuk mengejar target itu, Indonesia sebenarnya sudah menerapkan politik afirmasi bagi perempuan. Sayangnya, aturan yang ditetapkan dalam UU Pemilu sejak 1999 sampai saat ini tidak tegas. Justru ketegasan ditemukan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) sejak 2014.

BACA JUGA: Kesetaraan dan Pemberdayaan Perempuan Jadi Isu Utama Selama RI Jadi Presidensi G20

“PKPU memasukkan ketentuan sanksi. Jadi kalau partai politik tidak mencalonkan minimal 30 persen perempuan dan menempatkan satu diantara tiga, maka ada sanksi diskualifikasi di Dapil yang bersangkutan,” lanjut Khoirunnisa.

Perludem merekomendasikan, aturan ini masuk dalam UU Pemilu mendatang, sehingga dasar hukummya lebih tinggi dan kuat.​

Diskriminasi Positif

Ahli hukum tata negara dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Dhia al Uyun meyakinkan seluruh pihak, bahwa politik afirmasi tidak melanggar aturan.

“Apakah kuota 30 persen itu adalah diskriminatif, jawabannya adalah iya. Tetapi ini diskriminasi yang positif. Diskriminasi yang sebenarnya digunakan untuk mewuwujudkan keadilan itu sendiri,” kata Dhia.

Your browser doesn’t support HTML5

Pemilu: Pemilih Perempuan Tak Otomatis Dukung Calon Perempuan

Publik menurutnya juga tidak adil jika menghadapkan kebijakan afirmasi dengan pertanyaan tentang kualitas perempuan dalam sektor politik. Dengan kebijakan afirmasi, kualitas perempuan di sektor politik akan semakin meningkat seiring dengan kenaikan partisipasi itu sendiri.

UUD 1945 juga telah memberi pengaturan terkait perlakuan khusus ini, karena menyadari adanya kondisi timpang yang menguntungkan laki-laki. Menurut Dhia, Pasal 28 H ayat 2, menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapakan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan. [ns/em]