Reaksi dunia barat atas laporan Inggris sepanjang 6.000 halaman tentang Perang Irak menunjukkan rasa penyesalan, tapi para pemimpin yang memainkan peran penting dalam keputusan melancarkan perang itu tampak membela kebijakan mereka.
Juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan hari Rabu (6/7) bahwa Presiden Obama dan stafnya belum selesai membaca laporan panjang itu, tapi menambahkan bahwa Presiden Obama “telah menghadapi konsekuensi perang itu sepanjang masa kepresidenannya sampai saat ini.”
Katanya lagi, penting bagi Amerika untuk “mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan masa lampau ini.”
Keputusan untuk melancarkan perang atas Irak didorong oleh keyakinan bahwa pemimpin Irak masa itu, Saddam Hussein punya senjata-senjata pemusnah massal yang bisa digunakan untuk menyerang Amerika dan sekutu-sekutunya. Tapi perkiraan intelijen ini ternyata keliru.
Seorang juru bicara bekas Presiden George W. Bush yang memerintahkan serangan itu tahun 2003 mengatakan dalam sebuah pernyataan hari Rabu, “Walaupun ada kegagalan intelijen dan kesalahan-kesalahan lainnya yang sudah diakui sebelum ini, Presiden Bush tetap yakin bahwa dunia lebih baik tanpa Saddam Hussein.”
Pakar kebijakan publik William Galston dari Brookings Institution sepakat dengan isi laporan yang mengatakan bahwa dunia internasional (waktu itu) belum membahas seluruh pilihan yang ada untuk menetralisir ancaman Irak itu.
Galston mengatakan, salah satu pertanyaan besar yang timbul dari laporan Inggris itu adalah “apakah mempertahankan status quo memang suatu hal yang dianggap tidak mungkin oleh masyarakat internasional?”
Paul Bremer, yang memimpin pemerintahan pendudukan di Irak setelah serbuan tahun 2003 itu menulis dalam harian The Guardian di London, bahwa risiko yang ditimbulkan invasi itu “jauh lebih kecil” daripada membiarkan Saddam Hussein terus berkuasa.
Tapi pihak-pihak yang menentang perang Irak juga terus mempertahankan sikap mereka. Analis kebijakan luar negeri Amerika David Rothkopf menulis hari Rabu lewat pesan tweeternya “Hanya mengatakan ‘maaf’ saja tidaklah cukup. Barangkali cukup kalau kita terlibat dalam kecelakaan lalu-lintas kecil saja. Tapi kalau menimbulkan perang yang menjadi bencana dahsyat, tidak bisa.” [ii]