Forum Ekonomi Dunia (WEF) akan menjadikan perubahan iklim isu prioritas minggu ini, karena pemerintah dunia dianggap telah gagal mengatasinya.
DAVOS —
Perubahan iklim kembali menjadi agenda global, dengan debat yang terjadi pada pertemuan forum ekonomi dunia di Davos, yang memperikan energi baru bagi Presiden AS Barack Obama dan Sekretari Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon yang akan menjadikannya prioritas minggu ini.
Namun para pemimpin usaha masih kesulitan menemukan insentif ekonomi untuk mengubah praktik-praktik yang ada.
Mantan presiden Meksiko Felipe Calderon mengingatkan akan “krisis iklim yang berpotensi sangat merugikan ekonomi global.” Christine Lagarde, direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan, “kecuali kita mengambil tindakan untuk perubahan iklim, generasi-generasi mendatang akan terpanggang, terbakar, dan tergoreng.”
Namun ada keterpisahan antara peningkatan bukti adanya cuaca ekstrem – dari Super Badai Sandy di Amerika Serikat pada Oktober sampai panas tinggi di Australia bulan ini – dengan respon terbatas dari politisi dan pengusaha.
Dalam beberapa kasus, benturannya sangat kentara, seperti terlihat Jumat lalu ketika para aktivis LSM lingkungan Greenpeace menutup pom bensin Shell dekat pertemuan WEF untuk memprotes pengeboran minyak di Arktik yang dipermudah karena meningkatnya suhu Bumi.
Banyak perusahaan menggembar-gemborkan kesempatan dalam pergeseran ke ekonomi dengan tingkat karbon rendah, namun realitasnya adalah krisis ekonomi yang berlanjut telah menghambat dunia usaha dan pemerintahan untuk mengembangkan rencana jangka panjang.
Pertumbuhan yang pesat dari “shale gas”-- alternatif yang lebih hijau daripada batubara ketika dibakar, meski tidak ketika bocor ke atmosfer – juga membuat sumber energi terbarukan kurang menarik, ditambah dengan tantangan yang ada.
Sebagai akibatnya, meski investasi global untuk energi terbarukan meningkat, dunia masih harus menghabiskan US$700 miliar setiap tahun untuk menekan ketergantungan akan bahan bakar minyak, menurut sebuah studi yang dikeluarkan WEF minggu ini.
“Debat iklim sangat kekurangan perasaan mendesak. Perusahaan besar menghambat kita semua,” ujar direktur eksekutif Greenpeace Kumi Naidoo.
Pihak usaha sendiri mengeluhkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan kerangka regulasi yang jelas telah membatasi kemampuan mereka merencanakan masa depan.
Setelah kegagalan-kegagalan sebelumnya, pemerintah-pemerintah berniat membuat rencana PBB baru untuk mengatasi perubahan iklim pada 2015, namun hal itu baru akan dilaksanakan 2020.
Lembaga energi International Energy Agency memperingatkan bulan lalu bahwa dunia akan membakar sekitar 1,2 miliar ton lebih banyak batubara per tahun pada 2017 dibandingkan saat ini, atau sama dengan jumlah konsumsi Rusia dan Amerika Serikat jika digabungkan saat ini.
Sebuah analisis dari Ecofys untuk Greenpeace, yang dipresentasikan di Davos, menemukan bahwa hanya 14 proyek karbon-intensif di dunia ini akan meningkatkan emisi karbonmonoksida (CO2) sebanyak 20 persen, atau 6 gigaton. Mulai dari ekspansi batubara di Asia sampai pasir ter di Kanada, proyek-proyek ini akan mengakibatkan pemanasan global dengan skala malapetaka, menurut Greenpeace. (Reuters/Ben Hirschler)
Namun para pemimpin usaha masih kesulitan menemukan insentif ekonomi untuk mengubah praktik-praktik yang ada.
Mantan presiden Meksiko Felipe Calderon mengingatkan akan “krisis iklim yang berpotensi sangat merugikan ekonomi global.” Christine Lagarde, direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan, “kecuali kita mengambil tindakan untuk perubahan iklim, generasi-generasi mendatang akan terpanggang, terbakar, dan tergoreng.”
Namun ada keterpisahan antara peningkatan bukti adanya cuaca ekstrem – dari Super Badai Sandy di Amerika Serikat pada Oktober sampai panas tinggi di Australia bulan ini – dengan respon terbatas dari politisi dan pengusaha.
Dalam beberapa kasus, benturannya sangat kentara, seperti terlihat Jumat lalu ketika para aktivis LSM lingkungan Greenpeace menutup pom bensin Shell dekat pertemuan WEF untuk memprotes pengeboran minyak di Arktik yang dipermudah karena meningkatnya suhu Bumi.
Banyak perusahaan menggembar-gemborkan kesempatan dalam pergeseran ke ekonomi dengan tingkat karbon rendah, namun realitasnya adalah krisis ekonomi yang berlanjut telah menghambat dunia usaha dan pemerintahan untuk mengembangkan rencana jangka panjang.
Pertumbuhan yang pesat dari “shale gas”-- alternatif yang lebih hijau daripada batubara ketika dibakar, meski tidak ketika bocor ke atmosfer – juga membuat sumber energi terbarukan kurang menarik, ditambah dengan tantangan yang ada.
Sebagai akibatnya, meski investasi global untuk energi terbarukan meningkat, dunia masih harus menghabiskan US$700 miliar setiap tahun untuk menekan ketergantungan akan bahan bakar minyak, menurut sebuah studi yang dikeluarkan WEF minggu ini.
“Debat iklim sangat kekurangan perasaan mendesak. Perusahaan besar menghambat kita semua,” ujar direktur eksekutif Greenpeace Kumi Naidoo.
Pihak usaha sendiri mengeluhkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan kerangka regulasi yang jelas telah membatasi kemampuan mereka merencanakan masa depan.
Setelah kegagalan-kegagalan sebelumnya, pemerintah-pemerintah berniat membuat rencana PBB baru untuk mengatasi perubahan iklim pada 2015, namun hal itu baru akan dilaksanakan 2020.
Lembaga energi International Energy Agency memperingatkan bulan lalu bahwa dunia akan membakar sekitar 1,2 miliar ton lebih banyak batubara per tahun pada 2017 dibandingkan saat ini, atau sama dengan jumlah konsumsi Rusia dan Amerika Serikat jika digabungkan saat ini.
Sebuah analisis dari Ecofys untuk Greenpeace, yang dipresentasikan di Davos, menemukan bahwa hanya 14 proyek karbon-intensif di dunia ini akan meningkatkan emisi karbonmonoksida (CO2) sebanyak 20 persen, atau 6 gigaton. Mulai dari ekspansi batubara di Asia sampai pasir ter di Kanada, proyek-proyek ini akan mengakibatkan pemanasan global dengan skala malapetaka, menurut Greenpeace. (Reuters/Ben Hirschler)