Para pemimpin Persemakmuran pada Sabtu (26/10) menyatakan bahwa saatnya telah tiba untuk membahas apakah Inggris harus memberikan ganti rugi atas perannya dalam perdagangan budak transatlantik. Pernyataan itu disampaikan usai pertemuan selama sepekan di Samoa.
Perbudakan dan ancaman perubahan iklim menjadi tema utama pertemuan kepala pemerintahan Persemakmuran yang dimulai Senin (21/10) di Kepulauan Pasifik. Pertemuan tersebut dihadiri perwakilan dari 56 negara anggota yang sebagian besar berakar dari Kerajaan Inggris.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, yang negaranya sudah lama menolak seruan kompensasi finansial bagi negara-negara terdampak perbudakan, menyatakan bahwa pembahasan di pertemuan tersebut bukan "soal uang".
Terkait isu perbudakan, para pemimpin membuat pernyataan bersama bahwa mereka "sepakat saatnya tiba untuk dialog yang bermakna, jujur, dan saling menghormati guna membangun masa depan bersama yang setara".
Dorongan bagi negara-negara bekas penjajah seperti Inggris untuk membayar ganti rugi atau memperbaiki dampak perbudakan dan warisannya, terus mendapat momentum global, terutama di antara Komunitas Karibia dan Uni Afrika.
Pernyataan itu juga menyinggung "blackbirding", istilah untuk praktik menipu, memaksa, atau menculik orang dari berbagai tempat, termasuk dari Kepulauan Pasifik, untuk bekerja di perkebunan di Australia dan tempat lainnya.
Pihak yang menentang ganti rugi berargumen bahwa negara tidak seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan masa lalu, sementara pihak yang mendukung menilai bahwa warisan perbudakan telah menciptakan ketidaksetaraan rasial yang meluas dan berkelanjutan.
BACA JUGA: Negara-negara Persemakmuran Desak Inggris untuk Menebus Kejahatan Masa LaluPernyataan bersama tersebut tidak menyebutkan bentuk ganti rugi apa yang harus diambil.
Starmer menyatakan dalam konferensi pers bahwa pernyataan bersama itu memiliki dua poin penting, "Pernyataan tersebut mencatat seruan untuk berdialog dan menegaskan bahwa kini adalah waktu yang tepat untuk melakukan diskusi."
"Tetapi saya harus benar-benar menjelaskan di sini, dalam dua hari kita berada di sini, tidak ada diskusi tentang uang. Posisi kami sangat, sangat jelas terkait hal itu," katanya.
Pemimpin Baru
Anggota Persemakmuran memilih Shirley Ayorkor Botchwey sebagai sekretaris jenderal baru kelompok tersebut. Botchwey, yang mendukung ganti rugi atas perbudakan dan kolonialisme transatlantik, menggantikan Patricia Scotland dari Inggris, yang telah menjabat sejak 2016.
Raja Charles dan Ratu Camilla, yang hadir di pertemuan tersebut, terbang dari Samoa setelah kunjungan di mana raja mengakui sejarah "menyakitkan" Persemakmuran.
Sebelum pergi, pasangan kerajaan tersebut menghadiri upacara perpisahan di tengah hujan lebat di Desa Siumu.
Dalam pidatonya di pertemuan pada Jumat (25/10), Charles menyatakan bahwa ia memahami "dari mendengarkan orang-orang di seluruh Persemakmuran, bagaimana aspek-aspek paling menyakitkan dari masa lalu kita, terus bergaung".
"Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memahami sejarah kita, untuk membimbing kita dalam membuat pilihan yang tepat di masa depan," katanya. [ah/gg]