Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas pada Kamis (26/9) menyerukan kepada masyarakat internasional, khususnya Amerika Serikat, untuk berhenti mengirim senjata ke Israel guna mengakhiri pertumpahan darah di Tepi Barat dan Gaza.
Abbas, yang berbicara pada pertemuan tahunan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, secara khusus mengecam AS karena pengiriman senjata dan veto yang dijatuhkannya terhadap resolusi Dewan Keamanan yang mengutuk perang Israel yang berlangsung hampir setahun melawan militan Hamas di Gaza.
"Hentikan kejahatan ini. Hentikan sekarang. Hentikan pembunuhan anak-anak dan perempuan. Hentikan genosida. Hentikan pengiriman senjata ke Israel," kata Abbas. "Kegilaan ini tidak boleh berlanjut. Seluruh dunia bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada rakyat kami di Gaza dan Tepi Barat."
Ia mengatakan AS, dalam menjalankan hak vetonya pada pemungutan suara Dewan Keamanan, secara efektif menyatakan, "'Tidak, pertempuran akan terus berlanjut.'"
BACA JUGA: Otoritas Gaza Kebumikan 88 Jenazah Warga Palestina yang Tewas di IsraelDalam pidato PBB lainnya, Edgard Leblanc Fils, Ketua dewan transisi kepresidenan Haiti, mengumumkan bahwa ia mendukung misi penjaga perdamaian PBB untuk memerangi kekerasan geng yang masih membebani otoritas di negara kepulauan di Karibia tersebut.
Ini merupakan yang pertama kalinya seorang pejabat pemerintah Haiti menyatakan persetujuan publik terhadap misi penjaga perdamaian sejak AS mengemukakan gagasan tersebut awal bulan ini sebagai salah satu cara untuk mengamankan lebih banyak sumber daya bagi misi yang didukung PBB yang dipimpin oleh Kenya dan menurut para pejabat kekurangan personel dan pendanaan.
"Saya yakin bahwa perubahan status ini, sambil mengakui kesalahan masa lalu tidak bisa diulangi, akan menjamin keberhasilan penuh misi tersebut," kata Leblanc kepada Majelis Umum.
Pada Rabu (25/9), Leblanc bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan sejumlah pihak lainnya untuk membicarakan tentang status misi tersebut, yang dimulai ketika kontingen pertama polisi Kenya tiba di Haiti pada akhir Juni.
Hampir 400 petugas Kenya kini berada di Haiti, bergabung dengan hampir dua puluhan petugas polisi dan tentara dari Jamaika. Jumlah petugas tersebut jauh lebih sedikit dari 2.500 pasukan yang dijanjikan oleh berbagai negara, termasuk Chad, Benin, Bangladesh, dan Barbados, untuk misi tersebut.
Mandat misi saat ini akan segera berakhir dan harus diperbarui pada hari Rabu (2/10) mendatang.
"Kami mengharapkan gagasan untuk mengubah misi dukungan keamanan menjadi misi penjaga perdamaian di bawah mandat PBB," kata Leblanc.
Dewan Keamanan PBB pada akhirnya harus memberikan suara pada misi penjaga perdamaian, dan para ahli mengatakan tidak mungkin Dewan Keamanan PBB akan mendukungnya. Mereka telah mencatat banyak warga Haiti kemungkinan akan menolaknya, mengingat munculnya kasus kolera dan pelecehan seksual yang terjadi ketika pasukan PBB terakhir berada di Haiti. Sejak awal 1900-an, setidaknya telah terjadi tiga intervensi militer asing besar di Haiti yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. [my/jm]