Pemimpin pemberontak Islamis Suriah pada Selasa (10/12) bertekad untuk menuntut mantan pejabat senior pemerintah yang dianggap bertanggung jawab atas aksi penyiksaan dan kejahatan perang selama ini, sehari setelah memulai pembicaraan tentang transisi kekuasaan pasca-penggulingan Presiden Bashar al-Assad.
Assad pada Minggu memilih kabur dari Suriah setelah aliansi oposisi yang dipimpin kelompok Islamis berhasil merebut ibu kota Damaskus, mengakhiri kekuasaan keluarganya selama lima dekade di negara itu.
Assad adalah tokoh di balik tindakan represif terhadap gerakan demokrasi yang muncul pada 2011. Protes itu menyulut terjadinya perang yang menewaskan 500.000 orang dan membuat separuh populasi negara kehilangan tempat tinggal, dan jutaan lainnya memilih mengungsi ke luar negeri.
"Kami tidak akan ragu untuk meminta pertanggungjawaban para penjahat, pembunuh, perwira keamanan dan militer yang terlibat dalam penyiksaan rakyat Suriah," kata pemimpin pemberontak Abu Mohammed al-Jolani, yang sekarang menggunakan nama aslinya Ahmed al-Sharaa, pada Selasa dalam sebuah pernyataan di Telegram.
"Kami akan menawarkan hadiah kepada siapa pun yang memberikan informasi tentang perwira tinggi militer dan keamanan yang terlibat dalam kejahatan perang," katanya. Ia menegaskan otoritas yang baru akan mengupayakan pemulangan para pejabat yang melarikan diri ke luar negeri.
Sharaa mengadakan pertemuan pada Senin dengan Perdana Menteri yang akan lengser, Mohammed al-Jalali, untuk membahas "koordinasi pengalihan kekuasaan yang memastikan layanan bagi rakyat Suriah," menurut pernyataan sebelumnya di Telegram.
Suriah dilanda perang saudara selama lebih dari 13 tahun. Namun ironisnya, pemerintahannya runtuh hanya dalam tempo beberapa hari melalui serangan kilat yang dipimpin oleh kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di bawah komando Sharaa.
Ketika sebagian warga Suriah merayakan dan lainnya sibuk mencari orang-orang tercinta di penjara Assad yang terkenal kejam, Israel terus melakukan serangan udara untuk menghancurkan kemampuan militer rezim sebelumnya, menurut organisasi pemantau perang Suriah, Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris.
Serangan Israel
Observatorium Suriah pada Selasa menyatakan bahwa Israel berhasil "menghancurkan situs militer terpenting di Suriah" melalui serangkaian serangan udara sejak kejatuhan Assad.
Lembaga itu mengatakan Israel juga melakukan "sekitar 250 serangan udara di wilayah Suriah" selama 48 jam terakhir.
Mereka menargetkan depot senjata, kapal dari angkatan laut pemerintah Assad, dan pusat penelitian yang diduga negara-negara Barat memiliki hubungan dengan produksi senjata kimia, katanya.
Di dekat kota pelabuhan Latakia, Israel membidik fasilitas pertahanan udara dan merusak kapal Angkatan Laut Suriah serta gudang militer.
BACA JUGA: Pemberontak Suriah Klaim Temukan Puluhan Mayat di Rumah Sakit Dekat DamaskusDi dalam dan sekitar ibu kota Damaskus, serangan menargetkan instalasi militer, pusat penelitian, dan administrasi peperangan elektronik.
Israel, yang berbatasan langsung dengan Suriah, mengirim pasukan ke zona penyangga di sebelah timur Dataran Tinggi Golan yang telah dianeksasi. Menteri Luar Negeri Gideon Saar menyebut langkah itu sebagai tindakan "terbatas dan sementara" untuk "alasan keamanan."
Hizbullah Lebanon, yang bersekutu dengan Assad, mengecam serangan tersebut pada Senin malam. Mereka juga mengutuk Israel karena "menduduki lebih banyak area di Dataran Tinggi Golan".
Sementara Utusan khusus PBB untuk Suriah pada Selasa (10/12) meminta Israel menghentikan gerakan militer dan aksi pengebomannya di Suriah. Permintaan itu mengemuka setelah pemantau perang melaporkan Israel melakukan 300 serangan udara sejak jatuhnya Presiden Bashar al-Assad. [ah/rs]