Myanmar memulai pemungutan suara lebih awal pada Kamis (29/10), untuk pemilihan umum 8 November, meskipun beban dari kasus virus corona di negara itu meningkat dan kerusuhan terus berlanjut di beberapa daerah.
Pemilu tahun ini diikuti hampir 100 partai politik dan persaingan memperebutkan kursi untuk majelis tinggi dan rendah di tingkat pemerintah nasional, negara bagian dan regional.
Para pemilih awal termasuk warga yang tidak dapat kembali ke daerah pemilihan mereka karena pembatasan Covid-19 dan pemilih yang berusia lebih dari 60 tahun di kota-kota di mana berlaku perintah tinggal di rumah, menurut Komisi Pemilihan Umum (UEC). Sebanyak 1.171 kursi diperebutkan, menurut The Carter Center, yang menghitung partisipasi lebih dari 6.900 kandidat dari 92 partai politik dan calon independen.
Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, dan Presiden Win Myint termasuk di antara pemilih awal di ibu kota, Naypyitaw. Pemilihan umum ini sebagian besar merupakan referendum tentang kepemimpinan dan pencapaian Suu Kyi dalam menghadapi krisis ekonomi yang dipicu oleh Covid-19.
Etnis Burman Buddha yang mayoritas di Myanmar diperkirakan akan tetap memegang kendali, bahkan di daerah-daerah di mana warga dari etnis minoritas non-Burman menjadi mayoritas penduduk. Cengkeraman Burman yang berkelanjutan pada kekuasaan bisa berarti menajamnya keluhan di antara warga Muslim dan minoritas lainnya dan peningkatan konflik bersenjata, menurut para analis.
Minoritas Muslim terbesar, Rohingya, hampir sepenuhnya tercabut hak-haknya di Myanmar dan di Bangladesh, di mana sekitar 800.000 telah melarikan diri dan tinggal di kamp-kamp pengungsi.
Hak pilih minoritas Muslim terbesar, Rohingya, hampir sepenuhnya terampas, baik di Myanmar dan di Bangladesh, di mana sekitar 800.000 telah melarikan diri dan tinggal di kamp-kamp pengungsi.
Suu Kyi, 75, ikut menjadi calon untuk kursi Majelis Rendah yang mewakili Kotapraja Kawhmu, yang dimenangkannya pada 2015. Pemilu 2015 adalah pemilihan umum pertama di Myanmar sejak pemerintah sipil yang terpinggirkan diperkenalkan pada 2011 untuk mengakhiri hampir 50 tahun pemerintahan militer. Militer terus memegang 25 persen kursi di setiap badan legislatif. [lt/ft]