Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan salah satu komponen terpenting dalam penanganan bencana di seantero Indonesia. Lembaga ini dibentuk pada 2008 sesuai amanat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut memberikan fungsi kepada BNPB sebagai pemegang komando, koordinator, dan pelaksana dalam menangani bencana yang terjadi.
Di usianya yang sudah satu dasawarsa, BNPB masih menghadapi kendala dan kekurangan dalam manajemen bencana di Indonesia. Isu inilah yang menjadi bahan diskusi di Jakarta pada Selasa (28/8).
Meski masih menghadapi banyak kendala dan memiliki kekurangan, Dr Inosentius Samsul, Kepala Pusat Perancangan Undang-undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat mengakui kepedulian sekaligus penanganan bencana di Indonesia paling tidak sudah terstruktur dan terlembaga.
Inosentius mengakui pula lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 memang sudah cacat sejak lahir karena banyak sekali kekurangan terutama kalau dikaitkan dengan kepentingan sektoral. Karena itu dia mengimbau momentum 10 tahun BNPB sebagai waktu yang tepat untuk melakukan perbaikan.
Inosentius mengatakan sebuah undang-undang akan diuji melalui praktik di lapangan. Dia menilai gempa yang terjadi di Lombok baru-baru ini merupakan pengalaman berharga untuk memperbaiki undang-undang atau memperbaiki kelembagaan yang ada tanpa harus mengubah undang-undang.
Meskipun demikian Inosentius menekankan Indonesia menjadi patokan bagi negara-negara lain dalam penanggulangan bencana.
"Urusan penanggulangan bencana itu, rencana induknya, strategi penanggulangannya tetap di tempat bapak (BNPB). Sehingga nanti apa yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial, apa yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan mengacu pada apa yang ditetapkan oleh BNPB. Jadi kekuatannya itu pada konsep, kebijakan," ungkap Inosentius.
Kepala Biro Hukum dan Kerjasama BNPB Dicky Fabrian menjelaskan sesuai undang-undang yang berlaku, BNPB memiliki tiga fungsi yakni komando, koordinasi, dan pelaksana. Dicky mengatakan sampai sekarang BNPB baru memiliki cabang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), di 34 provinsi dan 472 di tingkat kabupaten/kota. Dia menekankan undang-undang mewajibkan provinsi membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di seluruh kabupaten/kota di wilayahnya.
Menurutnya selama 2016 terjadi lebih dari 2.300 bencana alam, kebanyakan banjir dan longsor, dan angka serupa juga terjadi tahun lalu. Namun, lanjut Dicky jumlah pegawai BNPB untuk menangani bencana di seantero Indonesia hanya 894 personel.
Jumlah itu meliputi 507 pegawai negeri dan 387 karyawan kontrak. Mereka terdiri dari empat orang lulusan S3, 88 lulusan S2, 280 orang lulusan S1, 73 orang lulusan D3, dan 64 orang lulusan sekolah menengah umum (SMU).
"Kita (BNPB) menyadari untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 24/2007 memang bukan perkara gampang. Melakukan pengkoordinasian itu tidak sederhana, jadi komando juga susah karena masalah tingkatan, pangkat, dan jabatan. Jadi unsur pelaksana juga demikian," ujar Dicky.
Your browser doesn’t support HTML5
Dengan segala kendala dihadapi dan kekurangan dimiliki, Dicky menekankan BNPB tetap berusaha untuk melakukan yang lebih baik dalam menangani bencana di seluruh Indonesia. Dia menambahkan BNPB telah mempunyai rencana induk hingga 2045.
Menurut Dicky, struktur organisasi BNPB akan diperbesar untuk dapat bekerja secara maksimal dalam menangani bencana di Indonesia.
Dr Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta mengatakan perlu ada batasan minimal yang ditetapkan oleh BNPB dalam penanggulangan bencana, sehingga pemerintah daerah tidak tergesa-gesa menyerahkan tanggung jawab kepada pemerintah pusat. Dia menambahkan pemeringtah daerah harus memiliki rencana kontigensi yang bagus dalam penanganan bencana.
Eko menyarankan BNPB nantinya mendorong kementerian dan lembaga terkait untuk terlibat aktif dalam penanganan bencana sesuai koordinasi dengan BNPB. [fw/em]