Hal tersebut disampaikan oleh Riyad Al-Maliki dalam Diskusi yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, Selasa (20/8).
Al-Maliki menjelaskan, pemerintahan Amerika Serikat sebelumnya, yang dipimpin Donald Trump, pernah memfasilitasi untuk merancang ulang persetujuan normalisasi hubungan negara Arab dengan Israel. Ketika itu, langkah tersebut dilakukan untuk menekan Israel, agar Palestina meraih kemerdekaan.
“Itu terjadi sekitar lima tahun lalu, mungkin? Tetapi saya tidak melihat hasil apapun dari menormalisasi hubungan negara-negara dengan Israel yang berdampak kepada akhir dari penderitaan rakyat Palestina, akhir dari pendudukan (Israel) atau bahkan memperbolehkan rakyat Palestina memperoleh kebebasan dan kemerdekaan,” ungkap Al-Maliki.
Ia menambahkan, pada 2002 sempat digelar Inisiatif Perdamaian Arab (Arab Peace Initiative), dengan syarat Israel harus menarik pendudukannya dari Palestina dan beberapa wilayah di negara Arab. Kemudian negara-negara tersebut akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
“Jadi kondisinya sangat jelas, jika Israel mengakhiri pendudukan Palestina dan negara Arab teritori, maka Arab akan merespons dengan menormalisasi hubungan dengan Israel,” tuturnya.
Namun, Al-Maliki berpendapat, cara itu dilakukan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu untuk meyakinkan Arab, bahwa Palestina sama sekali tidak butuh merdeka. Dia menilai, jika Arab memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, tanpa menyelesaikan masalah Palestina terlebih dahulu, bisa dipastikan Arab tidak akan memprioritaskan masalah Palestina, dan itulah yang ingin ditunjukkan Netanyahu kepada Arab dunia.
Jadi, Indonesia harus sangat berhati-hati. Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan Israel melihat Indonesia sebagai simbol negara dengan Muslim terbesar di dunia yang sedang menormalisasi hubungan dengan Israel, tanpa perlu Israel menarik kembali pendudukan tanah Palestina dan memungkinkan orang Palestina untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaannya. Anda (Indonesia) harus sangat berhati-hati,” katanya.
Menurut Al-Maliki, sangat jelas bahwa Israel harus menarik diri sepenuhnya dari Palestina dan tanah wilayah di beberapa negara Arab. Dengan begitu tidak akan ada masalah, baik bagi Indonesia maupun negara muslim lainnya di dunia ini untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, tentunya jika mereka mau, tandasnya.
“Karena mungkin akan ada negara-negara yang tidak ingin melakukan normalisasi hubungan dengan Israel setelah Israel menarik diri. Sekali lagi, tidak ada alasan untuk mencegah negara-negara Arab atau negara-negara Islam melakukan hal tersebut jika mereka ingin melakukannya. Tapi kondisinya sangat jelas, kami berpegang pada Inisiatif Perdamaian Arab pada 2002, bahwa Israel pertama harus menarik diri dari seluruh wilayah pendudukan Palestina dan Arab dan kemudian, normalisasi akan terjadi, bukan sebelumnya,” tegasnya.
Dalam kesempatan ini, Al-Maliki juga menyebutkan tujuan Netanyahu memperluas perang menjadi perang regional dengan melibatkan Amerika Serikat. Ia meyakini, Netanyahu ingin menjadikan Gaza sebagai negara wilayah penyangga yang tidak layak huni, untuk kemudian integrasikan ke Tepi Barat
Al-Maliki menegaskan, rakyat Palestina harus tetap bertahan di wilayahnya. Ia Palestina memang tidak dapat melawan kekuatan militer Israel, namun jika melihat perspektif yang luas lebih dari sekedar konteks militer, Al-Maliki yakin Palestina kelak bisa meraih kemenangan.
“Dan itulah mengapa ini sangat penting. Ketahanan penting bagi rakyat Palestina. Tetaplah tinggal di tanah tersebut tanpa menghiraukan apa yang dilakukan Israel. Sangat penting untuk tetap tinggal karena tinggal di sana, di tanah Anda, di rumah Anda walaupun kemungkinan untuk bertahan hidup dengan sendirinya merupakan sebuah perlawanan,” tegasnya.
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran (Unpad), Teuku Rezasyah sependapat bahwa Indonesia harus berhati-hati dalam memutuskan hal ini.
Diwawancarai VOA, Rezasyah mengungkapkan Indonesia sudah pasti belajar banyak dari berbagai referensi, yakni negara-negara di Timur Tengah yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Negara-negara tersebut, ujarnya, pada awalnya berpikir, dengan memiliki hubungan diplomatik memungkinkan mereka menekan Israel menyegerakan kemerdekaan Palestina.
“Tapi ternyata dari negara-negara seperti Turki, Mesir banyak yang kecewa karena dijanjikan oleh Israel dulu hubungan diplomatik akan mempercepat kemerdekaan Palestina, ternyata tidak juga. Bahkan negara-negara tersebut on-off, on-off, buka-tutup, buka tutup,” ungkap Reza.
“Jadi Indonesia belajar dari pengalaman, bahwa Israel sulit dipercaya, Jadi kalaupun nanti dibuka hubungan diplomatik Indonesia dan Israel, itu tentunya ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh Israel dan Palestina sendiri,” tambahnya.
Palestina, kata Reza, harus bisa membuktikan bahwa mereka negara yang berkualitas, seperti disyaratkan hukum internasional. “Jadi, harapan Indonesia tertuju kepada Israel dan Palestina sebenarnya karena kalau tidak hati-hati Palestina itu diakui sebagai negara tetapi tidak stabil, itu syarat pertama dimana Palestina harus stabil. Kedua, Israel harus jelas, sampai dimana batas Palestina tersebut? Yang saya ketahui, resolusi PBB mensyaratkan kembali ke batas di 1967, ini harus dipatuhi juga oleh Israel bahwa batasnya adalah yang sudah ditetapkan di tahun 1967,” katanya.
Lebih lanjut, Reza mengungkapkan apabila kelak Palestina bisa membuktikan bahwa mereka bisa menjadi negara berkualitas, dan Israel bersungguh-sungguh mematuhi semua perintah UN General Assembly dan UN Security Council, barulah Indonesia bisa mempertimbangkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tentunya ini harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR.
Your browser doesn’t support HTML5
“Bagi Indonesia, kita sadar bahwa Israel sangat berharap sebenarnya pada dua negara untuk membuka hubungan diplomatik, Arab Saudi dan Indonesia, dan Indonesia sadar bahwa dalam urusan ini kita tidak bisa dipermainkan oleh siapapun, Indonesia memiliki assessment pribadi karena harus dikonsultasikan dengan masyarakat luas, karena masyarakat kita sudah sangat antipati dengan Israel,” jelasnya.
Reza juga setuju dengan apa yang disampaikan oleh Al-Maliki terkait rakyat Palestina yang harus tetap bertahan di tanah mereka sampai kapan pun. Hal ini, merupakan syarat minimal sebuah negara, di mana harus ada penduduk yang tinggal di sana. Jika semua meninggalkan tanahnya berarti Palestina tidak bisa lagi dikatakan sebagai negara.
Berdasarkan hukum internasional yang berlaku saat ini, syarat berdirinya sebuah negara adalah ada wilayah, ada penduduk, kemampuan mengelola negara dan pemerintahan yang berkualitas.
“Jadi Israel berusaha agar empat item tersebut tidak ada, kalau bisa dari hari ke hari berkurang, dan Israel tidak bisa apa-apa kalau misalnya negara-negara tertentu mengakui Palestina sebagai sebuah negara, seperti Indonesia. Jadi harus bertahan, at all cost, memang sedih juga mereka tidak ada listrik, tidak ada air, kemudian bahan makanan susah masuk. Tetapi itu adalah harga sebuah kemerdekaan, harus ada, sisa-sisa perwakilan Palestina,” papar Reza. [gi/ns]