Jiwa pengabdian sebagai guru sudah tertanam di hati Fransiskus Kasipmabin. Saat ini dia adalah salah satu relawan lokal untuk pendidikan di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, wilayah terpencil yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Dia mengajar siapapun yang mau, mulai anak-anak sekolah hingga orang tua buta huruf.
Namun, sebenarnya Fransiskus hari ini masih harus duduk di bangku kuliah, Jurusan Pendidikan Akuntansi di Universitas Sanata Darma, Yogyakarta. Akhir tahun lalu dia pulang ke Oksibil, ibukota Pegunungan Bintang, karena pemerintah daerah menghentikan dana beasiswanya. Padahal tanpa dana itu, para pemuda Papua tidak mungkin mampu membayar biaya kuliah dan kebutuhan hidup selama di Jawa.
“Waktu itu saya pulang karena terkendala dengan biaya kuliah. Pemerintah daerah sudah bekerja sama dengan beberapa kampus di Jawa. Ternyata sejak pergantian kepemimpinan, kerja sama dengan kampus di Jawa itu terhenti. Akhirnya, dana untuk membayar biaya semester itu terputus. Menjelang akhir 2016 akhirnya kami mahasiswa Pegunungan Bintang yang kuliah di Jawa datang ke Oksibil untuk bertemu bupati. Tetapi karena itu masa peralihan kepemimpinan ke bupati baru, jadi belum ada respons yang baik,” kata Fransiskus Kasipmabin.
Kawan-kawan Fransiskus yang orang tuanya mampu, berkesempatan kembali ke Yogyakarta melanjutkan kuliah. Dia sendiri harus tinggal di Oksibil, dan rela cuti setelah kuliah enam semester. Dia melanjutkan baktinya pada tanah Papua, dengan menjadi relawan pengajar. Ironis memang, Fransiskus yang tak memperoleh bantuan dana untuk kuliah dan pemerintah, justru rela mengajar di daerah dengan penuh pengorbanan.
“Saya dan kawan-kawan berkeliling untuk mengajar. Sampai saat ini, ya ini yang bisa dilakukan. Saya merasa harus melakukan ini untuk mereka, bukan soal apa yang saya dapat dari mereka, tetapi apa yang bisa saya beri. Tentu sambil menunggu ada keputusan mengenai dana kuliah itu,” tambah Fransiskus.
Hosea Deal, Sekjen Mahasiswa Pegunungan Bintang se-Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera mengurai masalah ini bermula dari keputusan pemerintah daerah yang baru. Dana pendidikan yang sebelumnya merupakan dana sosial, di mana seluruh mahasiswa kabupaten tersebut berhak mendapatkannya, diganti dengan skema beasiswa bersyarat. Mahasiswa harus memperoleh indeks prestasi tertentu untuk menerima dana tersebut.
Skema tersebut, kata Hosea Deal, memiliki kelemahan mendasar, yaitu karena kualitas pendidikan dasar dan menengah di Pegunungan Bintang sendiri tidak merata. Di sisi lain, indeks prestasi juga tidak bisa dijadikan patokan karena mahasiswa kuliah di perguruan tinggi yang berbeda-beda.
“Mereka yang kuliah di perguruan tinggi dan program studi yang akreditasinya baik, penilaiannya ketat sehingga rata-rata memiliki nilai di bawah standar yang ditentukan pemerintah daerah. Jika pemerintah memberlakukan sistem ini, kemungkinan besar mereka akan pindah ke perguruan tinggi yang berakreditasi rendah hanya untuk mengejar nilai,” kata Hosea Deal.
Karena itulah, dengan tegas organisasi mahasiswa Pegunungan Bintang di kawasan Indonesia Bagian Barat dan Tengah ini menolak skema baru pemerintah daerah. Mahasiswa juga mengingatkan, bahwa sebagai lanjutan kerja sama terdahulu, pemerintah daerah memiliki tunggakan biaya kepada universitas maupun lembaga pendidikan pendukung di sejumlah wilayah. Tunggakan itu, kata Hosea Deal, harus dilunasi maksimal pada bulan Oktober ini.
Sejumlah mahasiswa Pegunungan Bintang di Jawa Tengah dan DIY bahkan harus mengamen untuk memperoleh biaya hidup. Hal ini disampaikan tokoh mahasiswa Papua, Otis Tabuni yang berada di Salatiga, Jawa Tengah. Kepada VOA, Otis menyatakan mahasiswa Pegunungan Bintang telah mendiskusikan sejumlah jalan keluar yang bisa diambil dalam mengatasi persoalan ini. Namun bagaimanapun, dukungan pendanaan harus diberikan secepatnya karena kondisinya cukup darurat.
“Mereka ini, hampir 90 persen adalah anak-anak dari orang kampung. Dan para orang tua ini tahu, bahwa harapan satu-satunya untuk bisa mengirim anaknya kuliah adalah dengan bantuan pemerintah. Kecuali beberapa mahasiswa yang orangtuanya adalah pegawai negeri atau pengusaha, mereka masih bisa menerima kiriman uang. Namun, apa yang mereka dapat dari orang tua itu dibagikan untuk semua teman-teman yang tidak mendapat kiriman uang untuk makan. Jadi serba susah juga. Mau buat bayar kuliah, tetapi teman lain tidak kuliah dan tidak makan, akhirnya dipakailah dulu untuk makan. Itu yang terjadi sebenarnya,” kata Otis Tabuni.
Otis menambahkan, jika pemerintah daerah ingin mengubah kebijakan, sebaiknya tidak diberlakukan serta merta. Seharusnya, mahasiswa yang masuk dalam skema lama, tetap diikutkan dalam sistem sebelumnya. Jika ingin menggunakan indeks prestasi sebagai persyaratan penerimaan beasiswa, pemerintah daerah harus melihat kondisi nyata di kampus-kampus. Barangkali, aturan itu baru bisa diterapkan beberapa tahun mendatang.
Your browser doesn’t support HTML5
“Memperoleh IP 3 lebih di kampus-kampus yang akreditasinya kurang bagus, itu bisa saja dengan mudah. Tetapi sulit sekali mencapai angka itu di UGM, UKSW Salatiga atau Sanata Darma Yogyakarta. Jadi, tidak adil kalau persyaratannya disamaratakan seperti itu. Sekarang yang penting bagi pemerintah daerah adalah atasi masalah ini secepatnya. Tidak ada sejarahnya mahasiswa Papua harus mengamen untuk beli beras,” ujar Otis.
Kasus ini menjadi ironi, terutama di Pegunungan Bintang. Baru seminggu yang lalu, polisi setempat mengungkap kasus korupsi dana desa senilai lebih dari Rp 4 miliar. Dana pembangunan desa itu dipotong oleh oknum pejabat setempat, dan dipakai untuk membeli sebuah pesawat ringan dari Kanada. [ns/uh]