Para pendukung hak asasi manusia prihatin akan kemungkinan hubungan antara militer Amerika dan pasukan khusus Indonesia yang pernah terkait dengan pelanggaran HAM di Timor Timur, Aceh, dan Papua.
Menteri Pertahanan Amerika Jim Mattis menyatakan ia akan menjajaki pembukaan kembali hubungan dengan Kopassus, walaupun sekarang ini tidak dapat dilakukan karena adanya Undang-Undang Leahy yang disponsori oleh Senator Amerika dari Vermont Patrick Leahy, anggota partai Demokrat, yang menyatakan bahwa Departemen Luar Negeri dan militer Amerika dilarang membantu pasukan asing manapun yang telah melanggar HAM tanpa mendapat ganjaran.
“Bantuan Amerika Serikat akan memberi legitimasi, dan legitimasi itu harus muncul dari penghormatan pada keadilan dan HAM,” kata Senator Leahy.
“Pertanyaan yang perlu dijawab oleh Menteri Pertahanan Mattis adalah apakah pemerintah Indonesia telah menghukum para perwira Kopassus yang memerintahkan dan menutup-nutupi kejahatan mengerikan itu, dan apakah anggota Kopassus sekarang tunduk terhadap kekuasaan hukum,” tambah Leahy.
“Semua negara adidaya termasuk Amerika Serikat mempunyai kewajiban moral untuk membuat dunia kita lebih baik,” kata Andreas Harsono, seorang peneliti senior Human Rights Watch Indonesia.
Andreas mengecam kemungkinan dimulainya lagi kemitraan itu dengan menulis bahwa “memulihkan bantuan kepada Kopassus sama dengan memberi hadiah kepada Indonesia tanpa negara itu harus melakukan apapun.”
Menhan AS Jim Mattis berkunjung ke Indonesia pekan lalu dan disambut dengan pertunjukan memukau oleh pasukan Indonesia, yang meminum darah ular, berjalan di atas api, berguling di atas pecahan kaca, dan mempertunjukkan peragaan penyelamatan sandera dengan iringan musik dari film “Mission Impossible.”
Your browser doesn’t support HTML5
Sejarah Kopassus
Kopassus, singkatan dari Komando Pasukan Khusus, didirikan tahun 1952 dan kegiatannya antara lain melakukan perang yang tidak konvensional, sabotase, kontra-pemberontakan, kontra-teroris, dan kegiatan intelijen. Kopassus memperoleh nama buruk atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya nya di Timor Timur pada waktu pendudukan Indonesia disana, yang berakhir tahun 1999 dan dalam kerusuhan rasial tahun 1998 di Jakarta, ketika Kopassus terlibat dalam pembunuhan dan kekerasan terhadap masyarakat Cina warga Indonesia. Kopassus paling berjaya dalam pemerintahan diktator Suharto, yang terguling tahun 1998, dan pamornya telah menurun pada masa demokrasi sekarang.
“Statusnya jelas memang masih bergengsi, tetapi sudah jauh berbeda dari kedudukannya pada masa Orde Baru Suharto,” kata Yohanes Sulaiman, professor kajian pertahanan di Universitas Jenderal Achmad Yani.
“Kalau ada normalisasi hubungan dengan Amerika Serikat, komandan Kopassus mungkin akan menjadi sangat penting lagi,” tambahnya.
“Pertanyaan besar adalah apakah Senat Amerika Serikat akan mengizinkannya, karena Kopassus tidak akan mungkin meminta maaf atau dianggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Timor Timur,” kata Sulaiman selanjutnya. “Sulit mengetahui apa yang akan terjadi, karena keputusannya berada di pihak Amerika Serikat, bukan Indonesia.”
Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryacudu, mengutarakan harapan agar Amerika mencabut sanksi terhadap Kopassus, yang dikenakan atas pelanggaran hak asasi di Timor Timur pada waktu perjuangan kemerdekaan negara itu dalam tahun 1990-an.
“Sanksi sudah lama diberlakukan terhadap Kopassus . . . Mattis akan berusaha mencabutnya,” kata Ryacudu pekan lalu.
“Salah satu sanksi itu adalah jelas bahwa mereka tidak diizinkan pergi ke Amerika. Mereka tidak dapat melakukan latihan bersama, tapi Mattis akan membuka kerjasama ini kembali,” imbuhnya.
Mattis mengatakan kepada para wartawan di Jakarta bahwa Amerika akan menempuh “prosedur yang biasa” untuk mempertimbangkan pembukaan kembali hubungan dengan Kopassus.
Hubungan Amerika-Indonesia
Kunjungan Mattis ke Indonesia dilakukan setelah pengumuman strateginya untuk memperkuat kemitraan dengan militer asing sebagai benteng terhadap kekuatan Rusia dan China. Tetapi Indonesia tidak akan mungkin memihak antara Amerika dan China.
Walaupun belakangan ini Indonesia menanggapi dengan keras masalah Laut China Selatan, ini lebih disebabkan kepentingan kedaulatannya sendiri daripada geopolitik negara-negara adi-daya. Bahkan sejak didirikannya Gerakan Non-Blok pada masa Perang Dingin, Indonesia tetap berusaha keras untuk tidak membentuk kemitraan resmi dengan negara-negara adi-daya seperti Amerika Serikat.
“Mengapa Indonesia berhati-hati mengenai hubungannya dengan China? Tentu saja karena masalah ekonomi,” kata Arbi Sanit, ilmuwan politik di Universitas Indonesia. “Investasi China di Indonesia terus meningkat, jadi ini selalu dipertimbangkan,” tandasnya.
Ekspor Indonesia ke China dan Amerika kira-kira sama jumlahnya, $16 milyar, tetapi Indonesia mengimpor jauh lebih banyak dari China, $30,1 milyar dan $7,3 milyar dari Amerika. China adalah mitra dagang nomor satu bagi Indonesia dalam volume impor dan ekspor.
“Dalam pada itu,” kata Sanit, “kekuatan Amerika telah menurun di kawasan Asia Tenggara dan mereka ingin mengubahnya. . . Tetapi saya kira apa yang akan terus diprioritaskan Indonesia dalam kebijakan luar negeri adalah sikap independen – terhadap ASEAN, terhadap China, dan juga terhadap Amerika Serikat,” tukasnya. [gp/ii]