Para peneliti Denmark menemukan bukti bahwa terapi dengan obat-obatan antivirus dapat menurunkan separuh resiko terkena kanker hati yang umum dan mematikan..
Hampir 200 juta orang di seluruh dunia terinfeksi hepatitis C, atau HCV, penyakit virus yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual atau melalui transfusi darah yang terkontaminasi.
Infeksi hati kronis yang membuat orang lemah, menyebabkan kelelahan, nyeri otot dan penyakit kuning, merupakan faktor risiko utama terjadinya karsinoma hepatoseluler, jenis kanker hati paling umum di seluruh dunia.
Sekarang, para peneliti Denmark telah menemukan bukti bahwa pasien HCV yang menjalani terapi antivirus tidak hanya mengalami penurunan peradangan tetapi juga penurunan secara signifikan risiko terkena kanker hati.
Para peneliti mengatakan pasien yang berhasil menekan virus itu dengan obat interferon selama enam bulan sebenarnya sudah sembuh, dan kemungkinan kambuh serta berkembang menjadi kanker sangat kecil. Pasien yang membersihkan virus hepatitis C risikonya terkena kanker hati 85 persen lebih rendah.
Diantara 1174 pasien yang tidak diberi obat antivirus interferon, 129 terkena kanker hati. Dalam kelompok lain dengan jumlah sama dimana pasien diberi obat antivirus, hanya 81 yang terkena kanker hati. Kedua kelompok itu dipantau selama 5 sampai 8 tahun.
Nina Kimer, ahli pencernaan dari Universitas Kopenhagen, memimpin penelitian tersebut. Dia mengatakan orang-orang yang diberi obat itu, tetapi tidak memiliki respon yang kuat juga memiliki risiko lebih rendah terkena kanker.
“Kami bukan studi pertama yang menunjukkan itu, tapi temuan kami jelas mendukung hipotesa bahwa orang yang tidak merespon pengobatan juga terlindung ketika mereka diobati.” jelas Nina Kimer.
Kata Kimer, temuan studi itu menunjukkan bahwa deteksi dini dan pengobatan hepatitis C sangat penting. “Jika seseorang datang ke rumah sakit karena sakit perut, kita tidak hanya membuat satu kesimpulan. Kita mencoba beberapa opsi. Jadi penyakit didiagnosa lebih dini,” kata Kimer.
Hepatitis C dapat memicu kanker karena menimbulkan sirosis atau koreng di hati
Studi mengenai kemanjuran obat hepatitis C dalam mengurangi resiko terkena kanker hati ini dimuat dalam jurnal BMJ Open Editions.
Infeksi hati kronis yang membuat orang lemah, menyebabkan kelelahan, nyeri otot dan penyakit kuning, merupakan faktor risiko utama terjadinya karsinoma hepatoseluler, jenis kanker hati paling umum di seluruh dunia.
Sekarang, para peneliti Denmark telah menemukan bukti bahwa pasien HCV yang menjalani terapi antivirus tidak hanya mengalami penurunan peradangan tetapi juga penurunan secara signifikan risiko terkena kanker hati.
Para peneliti mengatakan pasien yang berhasil menekan virus itu dengan obat interferon selama enam bulan sebenarnya sudah sembuh, dan kemungkinan kambuh serta berkembang menjadi kanker sangat kecil. Pasien yang membersihkan virus hepatitis C risikonya terkena kanker hati 85 persen lebih rendah.
Diantara 1174 pasien yang tidak diberi obat antivirus interferon, 129 terkena kanker hati. Dalam kelompok lain dengan jumlah sama dimana pasien diberi obat antivirus, hanya 81 yang terkena kanker hati. Kedua kelompok itu dipantau selama 5 sampai 8 tahun.
Nina Kimer, ahli pencernaan dari Universitas Kopenhagen, memimpin penelitian tersebut. Dia mengatakan orang-orang yang diberi obat itu, tetapi tidak memiliki respon yang kuat juga memiliki risiko lebih rendah terkena kanker.
“Kami bukan studi pertama yang menunjukkan itu, tapi temuan kami jelas mendukung hipotesa bahwa orang yang tidak merespon pengobatan juga terlindung ketika mereka diobati.” jelas Nina Kimer.
Kata Kimer, temuan studi itu menunjukkan bahwa deteksi dini dan pengobatan hepatitis C sangat penting. “Jika seseorang datang ke rumah sakit karena sakit perut, kita tidak hanya membuat satu kesimpulan. Kita mencoba beberapa opsi. Jadi penyakit didiagnosa lebih dini,” kata Kimer.
Hepatitis C dapat memicu kanker karena menimbulkan sirosis atau koreng di hati
Studi mengenai kemanjuran obat hepatitis C dalam mengurangi resiko terkena kanker hati ini dimuat dalam jurnal BMJ Open Editions.