Seiring upaya dunia untuk memastikan pemerataan akses vaksin COVID-19, para ilmuwan juga berpacu dengan waktu untuk mengembangkan vaksin-vaksin yang lebih ampuh demi meredam pandemi virus corona. Salah satunya dilakukan oleh Novalia Pishesha, junior fellow atau peneliti junior di Society of Fellows, Universitas Harvard.
Nova, nama panggilannya, pada pertengahan Oktober 2021, menerbitkan jurnal ilmiah tentang kandidat vaksin COVID-19 berbasis protein yang ia kembangkan, yang menyasar langsung sel-sel penyaji antigen (antigen-presenting cells/APCs), pada jurnal PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America). Ia beserta timnya mengujicobakan vaksin itu terhadap tikus muda dan tua. Hasilnya, metode itu memicu kekebalan tubuh tikus terhadap SARS-CoV-2 – virus penyebab COVID-19 – dan variannya.
“Kandidat vaksin ini 100% efektif, karena semua tikus – jika Anda lihat datanya – terlindungi,” ujar Nova di kantornya, di Boston Children’s Hospital, Massachusetts, saat diwawancarai VOA melalui Skype (20/10).
BACA JUGA: Peneliti Indonesia di MIT Cari Solusi Sumber Listrik Bersih Nan MurahAmpuh Tangkal Berbagai Varian Corona
Nova mulai memimpin penelitian itu bersama koleganya, Hidde Ploegh dan Thibault J. Harmand, pada April 2020, sebulan setelah pengumuman status pandemi COVID-19 oleh WHO. Kala itu, ia terpantik gagasan untuk menggunakan teknologi nanobodi, yang sebelumnya ia kembangkan untuk pengobatan penyakit autoimun.
Vaksin buatannya mengandung dua komponen dasar, yaitu nanobodi – antibodi dari hewan alpaka – dan bagian dari paku protein virus SASR-CoV-2 yang berfungsi mengikat reseptor pada sel manusia. Dalam penelitian itu, Nova menggunakan sekuens asli dari paku protein SARS-CoV-2 Wuhan.
Sejauh ini, kandidat vaksin itu ampuh menghadapi berbagai varian virus corona, termasuk varian Afrika Selatan (C.1.2) yang sempat merebak ke berbagai negara.
Ia mengaku belum mengujinya dengan varian Delta, meski tertarik untuk melakukannya. Terlepas dari itu, Nova optimistis vaksinnya ampuh menghadapi varian tersebut.
“Sebenarnya, modifikasi dalam hal merekayasa ulang komponen vaksin tidak terlalu sulit, jadi saya rasa kami bisa merakayasa ulang sebagian vaksin dengan varian terbaru,” ungkapnya. “Dan bahwasanya vaksin kami memicu respons imun yang sangat, sangat kuat – ditambah dengan respons T-cell di area (domain pengikat reseptor/RBD) yang terkonservasi – saya rasa kami cukup yakin vaksin ini bahkan memberikan perlindungan terhadap Delta.”
Menurutnya, vaksin berbasis protein yang ia kembangkan memiliki sejumlah kelebihan dibanding vaksin-vaksin COVID-19 lain yang sudah beredar.
“Karena (vaksin) ini kan protein-based, jadi lebih mudah untuk dibuat, untuk didistribusikan juga sangat mudah, karena kalau misalnya (vaksin) mRNA kan harus (disimpan pada suhu) dingin, terus vaksin yang lain juga harus dingin. Kalau yang ini bisa dikeringkan, jadi dilyophilized (pengeringan beku, red.), jadi bisa ringan juga untuk ditransfer ke mana-mana. Ditinggal di suhu ruangan satu-dua minggu juga nggak apa-apa,” paparnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Untuk Indonesia
Sebelum uji klinis terhadap manusia, tahap berikutnya adalah pengujian terhadap primata nonmanusia, dalam hal ini monyet. Doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu berharap dapat melakukannya di Indonesia. Pasalnya, ia sengaja mengembangkan vaksin berbasis protein agar mudah diproduksi di Indonesia, yang sudah memiliki teknologi mapan untuk memanufaktur vaksin-vaksin berbasis protein.
“Pada akhirnya, saya harap vaksin ini nantinya bisa digunakan di Indonesia. Saya pikir sesuai rencana, pada intinya saya ingin menggunakan teknologi yang memang kapasitas manufakturnya sudah ada di sana. Itu sebabnya saya tidak begitu ingin meneliti (vaksin) mRNA, karena butuh waktu beberapa tahun untuk membangun kapasitas manufakturnya hingga berada pada skala yang diperlukan, karena di Amerika pun teknologi itu masih sangat baru.”
Dalam wawancara dengan VOA melalui Skype secara terpisah, Juru bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyambut baik penemuan kandidat baru vaksin COVID-19 oleh Nova dan tim, yang kompatibel dengan teknologi di tanah air.
“Transfer teknologinya pasti akan jauh lebih mudah ya, dibandingkan tentunya transfer teknologi yang mungkin lead researcher-nya bukan orang Indonesia. Jadi, menurut saya, Indonesia harus betul-betul mendukung, mensupport hal ini,” ungkap Nadia (29/10). “Ini bisa menjadi salah satu peluang bagi BUMN untuk mengadopsi studi yang dilakukan oleh diaspora Indonesia, yang ke depannya akan memberikan peluang kepada Indonesia untuk bisa kemudian memproduksi vaksin.”
Dalam kunjungan ke AS awal Oktober lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bertemu dengan Nova. Meski demikian, belum ada keterangan lebih jauh tentang rencana pemerintah dalam menanggapi penemuan kandidat vaksin COVID-19 oleh Nova dan timnya.
“Saya rasa sih, kalau kemarin Pak Menteri sudah ketemu dengan Nova pasti akan ada tindak lanjutnya ya,” jawab Nadia kepada VOA.
Menurut Ikhtisar Mingguan COVID-19 Edisi 13 Kementerian Kesehatan yang terbit 18 Oktober 2021, pemerintah sendiri masih memantau perkembangan vaksin Merah Putih (MP) – vaksin COVID-19 yang dikembangkan sejumlah peneliti dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga di Indonesia. Sejauh ini, penelitian vaksin MP Universitas Airlangga menunjukkan progress terdepan, dengan rencana pelaksanaan uji klinis fase I pada Desember 2021.
Sementara itu, masih berbulan-bulan waktu yang diperlukan bagi vaksin Nova dan timnya untuk dapat diproduksi massal, dengan catatan lolos tahap uji klinis dan mendapat persetujuan otoritas terkait. Ia memandang vaksinnya dapat digunakan sebagai penguat alias booster pada masa depan, mengingat – menurutnya – vaksinasi COVID-19 mungkin akan menjadi rutinitas tahunan yang perlu dilakukan masyarakat, seperti vaksinasi flu di AS.
Siapa Novalia Pishesha?
Akhir Oktober lalu, Nova masuk ke dalam daftar 35 inovator Asia Pasifik berusia di bawah 35 tahun versi MIT Technology Review, karena dianggap mempelopori teknologi nanobodi untuk pengobatan penyakit autoimun. "Innovators Under 35 MIT Technology Review" merupakan pengakuan terhadap para inovator muda yang karya-karyanya dapat merevolusi gaya hidup dan membentuk masa depan dunia teknologi dan industri. Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, pendiri Google, Larry Page, dan pendiri Twitter, Jack Dorsey, sebelumnya juga menghiasi daftar tersebut.
Sebelum menekuni bidang rekayasa hayati (bio-engineering), Nova menamatkan pendidikan SMA di Singosari, Malang, Jawa Timur. Sejak dulu, ia ingin menguasai ilmu yang bisa membantunya menolong orang-orang sakit. Pasalnya, beberapa orang terdekatnya “meninggal tiba-tiba” setelah sakit tanpa diagnosis.
“Saya punya bibi yang saat saya beranjak dewasa menderita lupus, sebuah penyakit autoimun yang cukup umum. Beberapa teman saya juga menderita dan meninggal karena lupus waktu SMP. Hal-hal seperti itu yang benar-benar membuat Anda sadar bahwa ada banyak penyakit yang tidak dapat disembuhkan."
Nova sempat kuliah kedokteran selepas SMA, ketika ia memutuskan untuk keluar karena tidak cocok dengan sistem pendidikan di kampusnya.
Ia lantas bekerja bersama orang tuanya dan menjadi guru les, sebelum merantau ke San Francisco, AS. Di negeri Paman Sam, ia berkuliah di City College of San Francisco dan lulus dalam bidang rekayasa hayati dari University of California at Berkeley pada 2011 melalui beasiswa.
Nova melanjutkan pendidikannya di Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 2012 dan meraih gelar PhD dalam bidang yang sama pada tahun 2018.
“Sebagai mahasiswa doktoral, saya melakukan penelitian rekayasa sel darah merah dan kemudian mendaftarkan beberapa hak paten dari situ. Kemudian, penasihat studi doktoral saya mendirikan perusahaan dari penelitian itu, yang kini menjadi perusahaan bioteknologi yang melantai di bursa saham sejak beberapa tahun lalu,” ungkap Nova.
“Pada intinya, hal itu membuat saya berpikir bahwa apa yang saya kerjakan mungkin sangat bermanfaat, maka itu saya lanjutkan saja sambil mencari kesempatan, membangun lebih banyak hal, menemukan lebih banyak hal, menciptakan lebih banyak hal, dan semoga saja – karena sekarang Indonesia tampaknya membutuhkan lebih banyak vaksin – temuan vaksin ini bisa bermanfaat.”
Selain disibukkan dengan penelitian dan bimbingan mahasiswa, Nova juga menjadi konsultan bagi sejumlah perusahaan dan tengah membangun perusahaan rintisan yang bergerak dalam bidang bioteknologi. [rd/ab/em]
Virginia Gunawan dan Naras Prameswari juga berkontribusi pada laporan ini.
Artikel telah diperbarui dengan perbaikan informasi mengenai waktu penerbitan jurnal ilmiah tentang kandidat vaksin COVID-19 berbasis protein yang dikembangkan Novalia Pishesha dan timnya menjadi "pertengahan Oktober 2021." Sebelumnya tertulis bahwa jurnal ilmiah tersebut diterbitkan pada "awal November 2021."