Ribuan orang, yang disebut sebagai gali atau preman, ditembak oleh orang-orang tak dikenal sepanjang tahun 1982-1985. Peristiwa kelam itu disebut sebagai “petrus,” singkatan dari penembak misterius.
Hidup menjadi tidak mudah bagi Bathi Mulyono ketika petrus mulai terjadi. Bathi adalah ketua “Fajar Menyingsing,” yayasan yang menaungi ribuan preman dan mantan narapidana di kawasan Jawa Tengah dan Yogyakarta di era 80-an.
Ketika preman-preman semakin banyak ditemukan di jalanan dalam kondisi meninggal, Bathi memutuskan bersembunyi di Gunung Lawu, di timur Kota Solo. Dia berpindah-pindah lokasi untuk menghindari kejaran eksekutor. Di tengah pelarian itu, di kawasan Rembang, Jawa Tengah, dia sempat mengalami peristiwa yang tak pernah terlupakan sepanjang hidup.
Ketika itu karena hari gelap Bathi mencari tumpangan di tengah perjalanannya. Mobil bak terbuka berhenti dan sopirnya bersedia membawanya ke arah Blora. Di bak belakang, ada sejumlah karung yang ternyata berisi manusia. Pada jarak tertentu, karung itu diturunkan dan orang-orang yang ada di dalamnya ditembak.
“Saya engak bisa mengungkapkan, bagaimana jeritan mereka, permohonan ampun mereka, yang sedemikian rupa menyayat hati. Saya tahu ternyata karung ini isinya manusia, yang disebut gali atau preman, yang akan dieksekusi. Diturunkan dipinggir jalan, dor dor dor..,” papar Bathi.
Kisah itu dia ceritakan dalam diskusi terkait petrus, yang diselenggarakan Fakultas Hukum dan Komunikasi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/2). “Bayangkan, saya target utama. Saya ada di pick up itu, dan disitu ada karung-karung berisi manusia yang harus dieksekusi sepanjang jalan,” tambahnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Bathi memang salah satu preman paling dicari di Jawa Tengah ketika itu. Beruntung, para eksekutor malam itu tidak mengenal dirinya. “Saya enggak tahu waktu itu. Saya hanya bengong. Bengong dalam arti ini pengalaman hidup yang sedemikian rupa, di mana saya merupakan bagian target utama. Saya menghadapi dengan mata kepala saya sendiri, teman-teman yang dieksekusi. Saya tidak bisa menirukan jeritan, ratapan mereka,” ujarnya lagi.
Upaya Hukum Mandeg
Selama bertahun-tahun Bathi berjuang agar negara mengusut kasus pelanggaran HAM di era Soeharto ini. Tidak hanya bagi para korban, tetapi juga untuk istri dan anak mereka yang masih hidup sampai saat ini.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyebut upaya ini bukan hanya soal keadilan bagi Bathi dan korban lain. “Yang tidak kalah pentingnya adalah soal rekoleksi memori, akan kekejaman-kekejaman yang terjadi di masa lampau dan sampai saat ini belum terpecahkan,” papar dia.
Selain itu, peristiwa ini juga penting untuk dipahami generasi muda Indonesia, yang mungkin sama sekali tidak mengerti tentang sejarah kelas petrus.
Beka sendiri mengaku memiliki memori terkait petrus. Ketika peristiwa itu terjadi, dia masih mengenyam pendidikan sekolah dasar di wilayah perbatasan Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah. “Tempat di perbatasan itulah, kemudian ada beberapa lokasi tempat pembuangan orang-orang yang diidentifikasi sebagai gali. Dan itu disebarkan sedemikian rupa ceritanya, saya yang masih SD sudah tahu betul bagaimana kengeriannya, terus keangkerannya,” kata Beka.
Beka memastikan, Komnas HAM sudah bergerak secara resmi sejak 2008, karena petrus merupakan pelanggaran HAM di masa lalu. “Pada 2008, Komnas HAM membentuk tim ad hoc untuk penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa penembakan misterius periode 82-85, yang bekerja sejak Juli 2008 sampai dengan Agustus 2011,” ujarnya.
Tim itu telah meminta keterangan kepada total 115 orang. Rinciannya adalah 95 orang saksi, 14 saksi korban, 2 orang saksi aparat sipil, 2 saksi purnawirawan TNI, dan 2 saksi purnawirawan Polri. Tim juga memeriksa 10 lokasi kejadian serta sejumlah dokumen. Namun upaya ini tidak berjalan mulus. Saksi purnawirawan TNI dan purnawirawan Polri menolak datang, dan ada intimidasi kepada korban yang akan memberikan keterangan.
Petrus, menurut catatan Komnas HAM dimulai di Yogyakarta. Ketika itu, Komandan Kodim 0734 Yogyakarta, mengeluarkan imbauan agar pada gali atau preman segera menyerahkan diri dalam waktu singkat. Perintah ini diikuti operasi penangkapan terhadap orang-orang yang masuk daftar hitam.
Menurut Beka, upaya penyelesaian kasus ini bisa melalui pengadilan HAM dan atau pengadilan HAM ad hoc. Selain itu, bisa juga dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, kedua jalan itu kini macet total. Kesalahan masa lalu tidak pernah diakui dan kebenaran tidak terungkap ke publik. Korban juga belum mendapatkan keadilan, serta tidak ada pertanggungjawaban negara sama sekali.
Praktik di Banyak Negara
Pakar hukum Unika Soegijapranata, Dr Benny D Setianto menyebut, ada banyak negara di dunia yang menerapkan tindakan serupa petrus di Indonesia. “Ternyata fenomena melakukan tindakan-tindakan semacam pembunuhan misterius atau penembakan misterius ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Itu bisa terjadi di banyak negara,” ujarnya.
Mengutip laporan utusan khusus Komisi Hak Asasi Manusia Internasional, kata Benny, setidaknya ada delapan negara di Afrika yang dipantau secara khusus. Sementara di benua Amerika, ada sebelas negara yang juga menggunakan model-model semacam ini.
“Yang paling banyak Asia, ada 16 negara. Saya tidak tahu apakah ini karena Asia itu lebih brutal, sehingga pemerintahnya juga ikutan brutal. Tetapi konteksnya seperti itu,” tambah Benny.
Kejadian serupa juga tidak luput di Eropa, dengan lima negara yang tercatat. Tiga negara pelakunya adalah pecahan Uni Soviet. Sedangkan dua yang lain adalah Spanyol di era pemerintahan militer yang kejam, dan Inggris.
“Khusus untuk Inggris itu karena sengketa yang ada di Irlandia Utara,” papar Benny. [ns/em]