Untuk mencegah penumpukan perwira non-jabatan di tubuh TNI, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan perwira aktif TNI untuk mengisi jabatan di kementerian dan lembaga. Imparsial menilai jika usulan itu diakomodir dalam revisi UU TNI, maka jelas akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik dwi fungsi ABRI di era Orde Baru.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan baru-baru ini mengusulkan agar perwira aktif TNI dapat mengisi jabatan di kementerian dan lembaga negara lainnya sebagai solusi penumpukan perwira non-jabatan di tubuh TNI. Dia mengatakan gagasan itu bisa diwujudkan lewat perubahan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurut Luhut, idenya itu bisa membuat para jenderal tidak berebutan jabatan di TNI karena mereka dapat berkarir di luar institusi militer.
Peneliti senior dari Imparsial Al Araf kepada VOA, Rabu (10/8), menilai gagasan menempatkan perwira TNI aktif di dalam jabatan-jabatan sipil akan mengembalikan fungsi sosial politik TNI yang dulu tertuang dalam doktrin dwifungsi ABRI di masa Orde Baru.
Dia menambahkan di zaman Orde Baru TNI bukan hanya bertugas dan berfungsi sebagai alat pertahanan negara dari ancaman perang, tetapi juga terlibat dalam urusan-urusan sosial politik, dengan menduduki jabatan-jabatan politik, mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat hingga menjadi kepala daerah.
Menurut Al Araf, gagasan Luhut ingin mengembalikan perwira TNI aktif ke dalam jabatan-jabatan sosial politik berlawanan dengan amanat Orde Reformasi yang telah berhasil mencabut dwifungsi dan mengembalikan TNI ke barak, dengan tujuan menjadikan TNI profesional.
Kerja keras itu menghadirkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan TNI adalah alat pertahanan negara, tidak teribat dalam urusan-urusan sosial politik. Jabatan-jabatan bagi perwira TNI aktif terbatas pada yang berkiatan dengan isu-isu pertahanan, seperti di Kementerian Pertahanan dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Your browser doesn’t support HTML5
"Agenda reformasi Undang-undang TNI yang disulkan oleh Pak Luhut adaah sesuagtu yang akan membuka ruang kembali seperti pada masa Orde baru, dimana TNI akan menduduki jabatan-jabatan sosial politik. Ini sesuatu yang berbahaya karena penempatan TNI di jabatan sipil pada masa Orde Baru adalah bagian dari strategi politik Orde baru untuk mempertahankan rezim otoriter Orde baru selama 32 tahun itu," kata Al Araf.
Selain itu, lanjut Al Araf, ide Luhut tersebut akan melemahkan profesionalisme TNI karena TNI tidak lagi fokus menjaga pertahanan negara, tetapi ikut lagi dalam urusan-urusan sipil. Ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi di Indonesia karena tugas dan kompetensi TNI bukanlah berada di birokrasi sipil.
BACA JUGA: Ombudsman: Penunjukan TNI Aktif Sebagai Penjabat Kepala Daerah Harus DikoreksiAl Araf menegaskan gagasan Luhut akan mengganggu dinamika birokrasi sipil karena sudah memiliki mekanisme perekrutan, hadiah dan hukuman. Jika perwira TNI aktif duduk di jabatan-jabatan sipil tentu akan mengganggu roda organisasi.
Mengapa Ada Penumpukan Perwira TNI Non-Jabatan?
Perpanjangan usia pension personil TNI menjadi 57 atau 58 tahun ditengarai sebagai salah satu faktor penyebab penumpukan perwira TNI non-jabatan. Namun menurut Al Araf, solusinya bukan dengan menempatkan mereka di jabatan sipil, tetapi dengan membangun mekanisme zero growth yang ketat.
Pemerintah dapat mengevaluasi dan merestrukturisasi organisasi TNI sehingga penempatan jabatan TNI itu tetap dalam lingkungan TNI, tidak keluar ke jabatan sipil.
BACA JUGA: Kontras Minta Mendagri Benahi Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Karena MaladministrasiDi samping itu mekanisme penghargaan dan sanksi dalam piramida TNI memang harus diberlakukan secara ketat, di mana bintang empat di dalam tubuh TNI hanya empat orang, yakni Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, dan kepala Staf Angkatan Udara.
Preseden Buruk
Diwawancarai secara terpisah pengamat pertahanan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Haripin mengatakan jika ide Luhut jadi dilaksanakan maka hal itu akan menjadi preseden buruk bagi pembinaan karier perwira, sehingga mengikis profesionalismenya. Kehadiran perwira TNi aktif di jabatan sipil maka akan terjadi militerisasi birorasi atau benturan kultur antara sipil dan militer.
Menurutnya Presiden Joko Widodo sudah dua kali mengeluarkan peraturan mengenai struktur organisasi TNI, terakhir kali pada 2019.
Haripin menegaskan mengembalikan dwifungsi TNI bertolak belakang dengan fungsi dan tugas TNI sebagai alat pertahanan negara. "Kelihatannya definisi ini coba ditarik-tarik, diperluas, itu yang menjadi masalah. Seolah-olah demi persatuan, pkesatuan, keamanan, demi stabilitas, dianggap penting ikut. Padahal ruang lingkup tugas TNi itu di pertahanan negara," ujar Haripin.
Haripin menyarankan TNI menawarkan pensiun dini bagi perwira TNI jika ingin menduduki jabatan di lembaga sipil. Mekanisme pensiun dini bagi perwira TNI yang ingin mengisi jabatan sipil ini untuk menjawab kritikan bahwa ide Luhut itu akan mengembalikan Indonesia ke masa Orde Baru.
LBP : Ada Syarat Untuk Tempati Posisi di Kementerian
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan ada syarat yang harus diterapkan supaya prajurit aktif TNI bisa menempati posisi di kementerian/lembaga. “Undang-undang TNI itu sebenarnya ada satu hal yang perlu sejak saya Menkopolhukam bahwa TNI ditugaskan di kementerian/lembaga atas persetujuan presiden,”kata Luhut.
Menurut Luhut, jika hal itu terwujud, tidak ada lagi perwira-perwira tinggi TNI AD yang mengisi jabatan-jabatan tidak perlu sehingga kerja TNI AD semakin efisien.[fw/em]