Kementerian Keuangan mencatat pendapatan negara per November 2021 telah mencapai Rp1.699,4 triliun atau 97,5 persen terhadap target APBN 2021. Realisasi tersebut tumbuh 18,2 persen secara tahunan (yoy). Capaian ini ditopang dari peningkatan penerimaan perpajakan, Kepabeanan dan Cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penerimaan pajak hingga akhir November 2021 mencapai Rp1.082,6 triliun atau tumbuh 17 persen secara tahunan (yoy). Sementara penerimaan Kepabeanan dan Cukai tercatat sebesar Rp232,3 triliun atau sebesar 108,1 persen terhadap target pada APBN 2021, atau tumbuh 26,6 persen secara tahunan.
"Yang paling kita lihat sebagai indikator pemulihan ekonomi adalah PPN yang tumbuh 19,8 persen. Ini karena aktivitas ekonomi yang nampaknya mengalami peningkatan tinggi setelah kita bisa menangani COVID-19 varian Delta," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers daring, Selasa (22/12).
Sri Mulyani melanjutkan untuk penerimaan PNBP mencapai Rp382,5 triliun atau 128,3 persen dari target, sejalan dengan kenaikan harga komoditas migas, minerba, dan minyak sawit (CPO).
Kendati demikian, belanja negara hingga November 2021 telah mencapai Rp2.310,4 triliun atau defisit Rp611 triliun. Defisit tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai Rp885,1 triliun.
BACA JUGA: Survei: Kerentanan Sosial Ekonomi Masih Terjadi pada Masa Kenormalan BaruPertumbuhan Ekonomi Diperkirakan Di Atas 5 Persen
Sementara terkait pertumbuhan ekonomi Kuartal IV 2021, pemerintah memperkirakan akan berada di atas 5 persen. Pertumbuhan tersebut didukung penguatan aktivitas konsumsi, investasi, dan ekspor seiring pengendalian COVID-19.
“Momentum pemulihan ekonomi kita terus mengalami penguatan kembali sesudah terinterupsi oleh (varian) Delta dan untuk 2021 kita perkirakan pertumbuhan ada di kisaran 3,5 hingga 4 persen. Dimana di kuartal keempat pertumbuhan diprediksi akan di atas 5 persen," tutur Sri Mulyani.
Pemerintah Tetap Diminta Waspada
Menanggapi itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah untuk tetap waspada dalam menyikapi pertumbuhan penerimaan negara. Ia beralasan penerimaan tersebut tumbuh karena pemerintah membadingkan raihan penerimaan yang tercatat dengan periode saat terjadi pandemi, bukan penerimaan sebelum pandemi COVID-19.
Your browser doesn’t support HTML5
"Ini wajar karena ekonomi mulai dibuka kembali dan ada normalisasi ekspor dari mitra dagang utama. Tapi coba bandingkan dengan kinerja APBN atau penerimaan pajak Oktober 2019 atau sebelum pandemi," jelas Bhima kepada VOA, Selasa (22/12).
Bhima juga menyoroti penerimaan PNBP yang dikarenakan kenaikan harga komoditas. Menurutnya, kondisi tersebut dapat memicu inflasi dalam negeri dan pembengkakan belanja subsidi energi. Karena itu, harga komoditas tersebut pada akhirnya juga akan mengalami penyesuaian.
Di samping itu, Bhima mengingatkan pemerintah atas beban bunga utang yang dapat menjadi ancaman serius. Sebab, beban utang tahun 2021 meningkat hampir dua kali lipat yakni sekitar Rp608 triliun, jika dibandingkan dengan beban tahun lalu. Belum lagi, kata dia, nilai tukar rupiah dan kenaikan suku bunga yang dapat berdampak terhadap kebijakan pembayaran bunga utang.
"Sehingga tantangan APBN 2022 akan lebih kompleks jika dibandingkan 2021," tutup Bhima. [sm/em]