Pengadilan Paris Adili 6 Remaja Terkait Aksi Pemenggalan Kepala Seorang Guru

  • Associated Press

Plakat dengan foto almarhum guru Samuel Paty dalam rangka memperingati terbunuhnya guru tersebut di dekat sekolah Bois d'Aulne, Conflans-Sainte-Honorine, di luar Paris. (BERTRAND GUAY/Pool via REUTERS)

Enam remaja diadili di Paris, Senin (27/11) atas dugaan peran mereka dalam pemenggalan kepala seorang guru setelah guru tersebut mempertunjukkan sejumlah karikatur nabi Muhammad di depan kelasnya, sebuah pembunuhan yang membuat pihak berwenang menegaskan kembali hak berekspresi dan sekularisme yang dijunjung tinggi di Prancis.

Samuel Paty, guru sejarah dan geografi, dibunuh pada 16 Oktober 2020, di dekat sekolahnya di pinggiran barat laut Paris oleh seorang remaja berusia 18 tahun asal Chechnya yang radikal. Remaja penyerang itu kemudian ditembak mati oleh polisi.

Nama Paty terungkap di media sosial setelah debat kelas tentang kebebasan berekspresi di mana ia menunjukkan karikatur-karikatur yang diterbitkan oleh surat kabar satiris Charlie Hebdo, yang memicu pembantaian di ruang redaksi oleh sejumlah ekstremis pada Januari 2015.

Semua sidang di pengadilan remaja di Paris harus diadakan secara tertutup sesuai dengan hukum Prancis mengenai anak di bawah umur.

Para terdakwa tiba Senin pagi di pengadilan Paris, wajah mereka tersembunyi di balik masker dan kerudung, ditemani oleh keluarga mereka. Media tidak diperbolehkan mengungkapkan identitas mereka.

BACA JUGA: Sekolah-sekolah di Prancis Heningkan Cipta untuk Hormati Guru yang Tewas Ditikam

Di antara mereka yang diadili, seorang gadis remaja, yang saat itu berusia 13 tahun, didakwa membuat tuduhan palsu dengan mengatakan bahwa Paty telah meminta para siswa Muslim untuk mengangkat tangan dan meninggalkan kelas sebelum ia memperlihatkan kartun tersebut. Gadis itu kemudian mengatakan kepada penyelidik bahwa ia telah berbohong.

Gadis itu tidak ada di kelas hari itu dan Paty tidak mengajukan permintaan seperti itu, berdasarkan penyelidikan.

Lima siswa lain di sekolah Paty, yang saat itu berusia 14 dan 15 tahun, menghadapi dakwaan konspirasi kriminal dengan tujuan mempersiapkan kekerasan yang lebih parah.

Mereka dituduh telah menunggu Paty selama beberapa jam sampai guru itu meninggalkan sekolah. Mereka kemudian mengindetifikasi Paty ke seorang pembunuh bayaran dan memberi pembunuh itu imbalan sebesar 300-350 euro ($348-$406).

Penyelidikan membuktikan bahwa penyerang itu mengetahui nama guru dan alamat sekolah guru itu, namun ia tidak memiliki sarana untuk mengidentifikasinya.

Antoine Ory, pengacara salah satu terdakwa, mengatakan kliennya “tersiksa oleh penyesalan dan sangat takut berkonfrontasi dengan keluarga Paty.” Ia mengatakan remaja tersebut “jelas tidak mengetahui rencana kriminal” pembunuh Abdoullakh Anzorov, pengungsi Chechnya kelahiran Moskow.

Ory mengatakan kliennya itu mengalami masa-masa “sulit” sejak kejadian itu, berpindah sekolah dan teman-teman dan sekarang melihat persidangan tersebut sebagai kesempatan untuk membuka halaman baru kehidupan.

Keenam remaja tersebut menghadapi hukuman 2,5 tahun penjara. Sidang ini dijadwalkan berakhir pada 8 Desember.

Louis Cailliez, pengacara saudara perempuan Paty, Mickaelle, mengatakan ia ingin “memahami penyebab sebenarnya” yang menyebabkan para siswa tersebut melakukan aksi seperti itu.

“Tanpa kecaman, tidak akan ada visibilitas (di media sosial), tanpa visibilitas, tidak akan ada kejahatan,” ujarnya.

Delapan orang dewasa lainnya juga akan diproses di pengadilan. Mereka termasuk ayah dari gadis remaja yang didakwa menyampaikan tuduhan palsu. Sang ayah dilaporkan sempat mengunggah video di media sosial yang menyerukan mobilisasi melawan guru tersebut.

Seorang aktivis Muslim radikal yang membantunya menyebarkan pesan-pesan jahat dengan menyebut nama Paty juga telah didakwa.

Persidangan ini dilakukan enam minggu setelah seorang guru ditikam hingga tewas dan tiga orang lainnya terluka dalam serangan di sebuah sekolah yang dilakukan oleh seorang mantan siswa yang dicurigai telah menjalani radikalisasi Islam.

Pembunuhan tersebut terjadi dalam konteks ketegangan global terkait perang Israel-Hamas yang menyebabkan pihak berwenang Prancis mengerahkan 7.000 tentara tambahan di berbagai penjuru negara itu untuk meningkatkan keamanan dan kewaspadaan.[ab/uh]