Pengadilan banding Swedia, pada Senin (12/6), mengatakan polisi tidak memiliki dasar hukum untuk menghalangi dua pertemuan di mana pengunjuk rasa berencana untuk membakar Al-Qur’an pada awal tahun ini.
Pembakaran kitab suci agama Islam di luar Kedutaan Besar Turki di Stockholm pada bulan Januari lalu telah memicu kemarahan di dunia Muslim, yang menyebabkan protes selama berminggu-minggu dan seruan untuk memboikot barang-barang Swedia, dan selanjutnya menghentikan perhohonan Swedia menjadi anggota NATO.
Menyusul insiden itu, polisi menolak untuk memberikan izin terhadap dua permintaan lainnya, satu yang diajukan oleh seorang individu dan satu oleh organisasi, untuk mengadakan acara pembakaran Al-Qur’an di luar Kedutaan Besar Turki dan Irak di Stockholm pada bulan Februari.
Polisi berpendapat protes pada Januari telah menjadikan Swedia “target prioritas lebih tinggi untuk diserang.”
Menyusul banding dari kedua penyelenggara protes, Pengadilan Administratif Stockholm membatalkan keputusan tersebut, dengan mengatakan masalah keamanan yang dikutip oleh polisi tidak cukup untuk membatasi hak untuk berdemonstrasi.
Tetapi polisi Stockholm pada gilirannya mengajukan banding atas putusan tersebut ke pengadilan banding, yang pada Senin berpihak pada pengadilan yang lebih rendah.
Dalam kedua keputusan tersebut – untuk dua pengaduan terpisah – pengadilan banding mengatakan “masalah ketertiban dan keamanan” yang dirujuk oleh polisi tidak memiliki “hubungan yang cukup jelas dengan acara yang direncanakan atau lokasi sekitarnya."
Pengadilan menambahkan bahwa atas putusan tersebut, polisi dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Swedia.
Polisi Swedia telah mengizinkan protes pada Januari yang diselenggarakan oleh Rasmus Paludan, seorang aktivis Swedia-Denmark yang telah dihukum karena kasus rasisme.
Para politisi Swedia mengkritik pembakaran Al-Qur’an tetapi juga dengan gigih membela hak kebebasan berekspresi. [lt/jm]