Pengadilan Yogyakarta Gelar Sidang PK Nasib Terpidana Mati Mary Jane

Mary Jane Fiesta Veloso (menunduk, berbaju putih garis-garis biru) didampingi penerjemah barunya, yang bisa berbahasa Tagalog, di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta (Foto: VOA/Nurhadi)

Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta selama dua hari menggelar sidang terkait upaya Mary Jane, salah seorang terpidana mati kasus narkoba yang permohonan grasinya sudah ditolak oleh Presiden Jokowi, untuk mengajukan Peninjauan Kembali.

Di tengah upaya pemindahan para narapidana mati ke Pulau Nusakambangan oleh pemerintah, Mary Jane Fiesta Veloso masih berharap nyawanya selamat. Terpidana mati kasus narkoba ini permohonan grasinya sudah ditolak oleh Presiden Jokowi. Dia adalah satu dari sepuluh warga negara asing terpidana mati, yang akan menghadapi regu tembak dalam waktu dekat. Harapan terakhirnya ada di Mahkamah Agung.

Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta selama dua hari menggelar sidang terkait upaya Mary Jane mengajukan Peninjauan Kembali. Mengenakan baju garis-garis dan celana jins biru, perempuan yang kini bisa berbahasa Indonesia itu terlihat sedih dan tertekan.

Agus Salim, pengacara Mary Jane mengungkapkan, upaya peninjauan kembali yang kedua ini didasari fakta, bahwa pengadilan sebelumnya gagal menghadirkan penerjemah yang kompeten.

Mary Jane awalnya hanya mampu berbahasa Tagalog, dan dulu persidangan menyediakan penerjemah Bahasa Inggris. Akibatnya, kata Agus Salim, ada banyak keterangan Mary Jane yang dipahami secara keliru oleh majelis hakim, begitupun sebaliknya.

“Kemarin dia sempat sampaikan. Soal istilah regret, dia sempat ditanya are you regret. Menurut Mary jane, sepengetahuan dia itu berarti apakah Anda merasa bersalah. Waktu itu dia bilang dia tidak. Padahal makna kata regret itu menyesal. Dia kalau ditanya menyesal, tentu menyesal. Kita mengacu ke KUHAP, bahwa apa yang didakwakan kepada terdakwa itu, terdakwa berhak mengetahuinya sesuai bahasa yang dimengerti,” kata Agus Salim.

Ditambahkan Agus Salim, keinginan terbesar Mary Jane adalah perubahan hukuman oleh Mahkamah Agung. Dirinya berharap, tambahan keterangan para saksi di persidangan kali ini dapat mempengaruhi keputusan pengadilan.

“Tujuan kita mengajukan PK adalah adanya perubahan hukuman. Dari hukuman mati menjadi hukuman seringan-ringannya, apakah hukuman seumur hidup, atau dikurangi, yang penting bukan hukuman mati,” lanjutnya.

Seorang kawan baik Mary Jane, Andreas Sony Wicaksono, di sela persidangan bercerita, bahwa Mary Jane adalah seorang perempuan lugu yang dijebak sindikat narkoba. Awalnya, seusai bercerai dengan suaminya, Mary Jane yang harus membesarkan anak sendirian, berniat mencari pekerjaan di Malaysia.

Melalui seorang kawan baiknya, Kristin, Mary Jane akhirnya memperoleh pekerjaan dan diminta mengantar sebuah tas ke Yogyakarta. Di tas itulah, petugas di Bandara Internasional Adisucipto menemukan heroin seberat 2,6 kilogram senilai Rp 5,5 miliar. Sejak itulah, hidup perempuan miskin asal Philipina itu berubah.

“Dia dijebak saja. Sedang sial. Saya percaya dengan dia, karena dia itu awal mulanya cuma ingin mencari kehidupan yang lebih baik dengan menjadi pembantu rumah tangga. Mary Jane pernah bilang, bahwa kalau dia tahu itu narkoba, dia tidak akan mau membawanya. Dia tahu, narkoba itu illegal. Jadi memang benar-benar dia itu dijebak,” kata Andreas Sony Wicaksono.

Mary Jane ditangkap petugas pada 25 April 2010. Setelah menjalani serangkaian persidangan, Mary Jane akhirnya dijatuhi hukuman mati. Seluruh upaya hukum telah dia lakukan untuk mencari keringanan, dan berhenti ketika Presiden Jokowi menolak permohonan grasi yang dia sampaikan. Namanya kini tercatat di urutan pertama dari 10 terpidana yang akan menjalani eksekusi mati di Nusakambangan dalam waktu dekat.