Pengalaman 2 Mahasiswa Penerima Beasiswa LPDP di Washington, DC

  • Leonard Triyono

Kampus George Washington University di Washington, DC.

Melanjutkan kuliah pada jenjang pascasarjana merupakan aspirasi banyak orang, tetapi keinginan itu sering tidak terealisasi karena berbagai tantangan, misalnya kendala bahasa dan biaya kuliah yang mahal. Namun, banyak juga mahasiswa Indonesia yang berhasil mengatasi tantangan tersebut, termasuk dua mahasiswa dari luar Jawa yang menerima beasiswa untuk menempuh studi lanjut di ibu kota Amerika Washington, D.C.

Menurut data dari Departemen Luar Negeri dan Departemen Perdagangan Amerika, sekitar 9.000 mahasiswa Indonesia kini menumpuh studi di perguruan tinggi dan universitas di Amerika. Mereka umumnya berasal dari kota-kota besar di Indonesia dan sebagian besar menanggung sendiri (dengan dana keluarga) biaya pendidikan yang termasuk mahal. Namun, sebagian lagi berhasil meneruskan studi di Amerika dengan beasiswa yang diberikan oleh perguruan tinggi dan universitas tujuan, perusahaan tempat bekerja, dan pemerintah, baik pemerintah Amerika maupun pemerintah Indonesia.

Abraham Soyem dan Agustinus Iman Ceunfin (biasa dipanggil Iman) adalah dua warga Indonesia yang beruntung untuk melanjutkan studi di ibu kota Amerika, Washington, D.C. Kedua pemuda dari kota kecil berbeda di luar Jawa ini memperoleh beasiswa untuk jenjang pascasarjana dari pemerintah Indonesia.

Berbicara dengan VOA, Abraham Soyem yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, mengatakan bahwa sebelumnya dia bekerja sebagai konsultan di salah satu perusahaan. Di samping itu, dia juga aktif sebagai instruktur bahasa Inggris di beberapa institusi pengajaran bahasa Inggris di bawah TNI AD di Jawa dan Maluku. Mereka yang belajar di lembaga militer itu adalah mereka yang hendak ditugaskan untuk misi perdamaian di Lebanon sama Kongo.

Abraham Soyem, Mahasiswa S2 School of Business di George Washington University.

Di lembaga pengajaran bahasa TNI AD itu lulusan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pattimura ini juga mengajar bahasa Spanyol yang dikuasainya dari belajar di Universidad EAFIT di Kolombia dan bahasa Prancis yang dipelajarinya secara autodidak.

Agustinus Iman adalah mahasiswa pascasarjana kedua di Washington, D.C. yang sempat diajak bicara dengan VOA. Penerima beasiswa dari pemerintah Indonesia ini berasal dari Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara, dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste. Iman mengabdi sebagai pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga. Selagi menjadi pegawai negeri itu pula Iman menempuh studi jenjang S1 dengan beasiswa dari Kementerian Sosial di Politeknik Kesejahteraan Sosial di Bandung.

Studi di ibu kota Amerika

Iman mengambil jurusan Public Policy (Kebijakan Publik) di School of Public Affairs, American University di Washington, D.C. Bagaikan impian yang menjadi kenyataan, sejak awal Iman memang menyasar lembaga pendidikan dengan peringkat 35 di Amerika untuk inovasi dan peringkat 79 dari sekitar 5.300 perguruan tinggi dan universitas di seluruh Amerika itu. Alasan utama Iman memilih AU karena reputasinya, terutama jurusan kebijakan publik, dan kedua, lokasinya yang dekat dengan pusat pemerintahan. “Jadi, saya bisa belajar langsung dari sumber-sumber yang kredibel,” katanya.

Agustinus Iman, Mahasiswa S2 School of Public Affairs, American University.

Sementara itu, Abraham melanjutkan kuliah di School of Business (Fakultas Bisnis) dengan konsentrasi Tourism Administration di George Washington University (GWU) yang berperingkat 63 di antara semua universitas di Amerika. Alasan paling mendasar bagi Abraham untuk menjatuhkan pilihan pada GWU yang berlokasi di ibu kota Amerika, Washington, D.C. karena universitas ini masuk 200 besar universitas terbaik di dunia, dan untuk School of Business, masuk dalam peringkat 4 fakultas bisnis terbaik di Amerika Serikat.

Di samping itu, “learning curriculum (kurikulum pembelajarannya) didesain sesuai isu bisnis kekinian, sehingga akan sangat adaptable (mudah diadaptasi) untuk mengimplementasikan semua keterampilan dan ilmunya dalam dunia entrepreneurship (kewirausahaan),” tambahnya.

Beasiswa LPDP

Studi jenjang Master (Magister) ini mesti diselesaikannya dalam dua tahun sesuai dengan ketentuan dan durasi yang diberikan oleh pemberi beasiswa seperti tertuang dalam LOI (Letter of Intent/Surat Niat) yang ditandatanganinya. Baik Abraham maupun Iman adalah penerima beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

“Kebetulan saya penerima beasiswa LPDP yang didanai oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jadi, semua keperluan dibiayai secara full,” ujar Abraham.

Iman menambahkan, “Sama, saya juga merupakan seorang awardee (penerima) dari beasiswa LPDP. Jadi, saya juga mendapatkan beasiswa penuh. LPDP itu pokoknya menangani mahasiswa-mahasiswi atau pemuda-pemudi yang berprestasi yang mempunyai keinginan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi tetapi terkendala dengan biaya.”

Kampus American University di Washington, DC.

Prestasi dan kontribusi kepada bangsa

Selain harus lulus tes bakat dan kemampuan akademik serta kemahiran berbahasa Inggris, penerima beasiswa LPDP juga harus menunjukkan kontribusi yang nyata kepada bangsa dan negara. Untuk itu, Abraham – yang sudah pernah menerima beasiswa Australia Awards serta beasiswa dari pemerintah Kolombia dan juga pernah mengikuti beberapa program internasional – telah menyiapkan diri dengan baik dan merasa percaya diri ketika mengikuti semua fase dalam proses aplikasi beasiswa tersebut.

“Waktu itu memang (saya) betul-betul sudah mempersiapkan diri dengan matang melalui kontribusi kepada RI karena salah satu syarat bisa mendapatkan beasiswa LPDP itu adalah dengan menunjukkan kontribusi yang nyata kepada negara tercinta Indonesia. Nah sebelum mendapatkan beasiswa LPDP saya sudah banyak sekali melakukan program-program di dunia pendidikan untuk bangsa dan negara dan juga saya sudah bekerjasama dengan TNI AD untuk program-program komsos melalui pendidikan,” tambah Abraham.

Gerbang Profesor, George Washington University di Washington, DC.

Sebaliknya, Iman mengaku tidak yakin akan berhasil menerima beasiswa LPDP walaupun dia merasa telah berkontribusi kepada negara dan bangsa sebagai pegawai negeri sipil. Keraguan itu didasarkan pada beberapa kali kegagalan yang pernah dialami sebelumnya.

“Pengalaman sebelumnya itu mengajarkan saya bahwa saya memang kelemahan di satu titik, jadi agak pesimis ketika saya mendaftar LPDP untuk pertama kalinya. Saya ceritanya pernah mencoba Australian Awards tiga kali tapi selalu gugur di interview tahap akhir dan itu sempat membuat saya down dan sudah stop semuanya, tapi ada satu teman saya yang selalu memposting update segala sesuatu tentang LPDP. Nah, saya juga akhirnya tertarik untuk mencoba dan puji Tuhan, sekali tembak langsung lulus,” tukas Iman.

Budaya belajar yang berbeda dan tantangan sebagai mahasiswa internasional

Abraham mengatakan kesan pertama yang ditemukannya adalah budaya belajar yang berbeda.

“Sebagian besar teman-teman dari Indonesia mungkin ketika mereka datang di Amerika masalah terbesar yang mereka hadapi adalah budaya belajar yang mana di sini semua orang benar-benar kompetitif. Jadi semua tidak mau nomor sekian tetapi harus nomor 1 atau nomor 2. Nah buat saya ini tantangan yang cukup berat karena di kelas itu hampir semuanya mahasiswa international, dari Timur Tengah maupun Eropa dan Amerika yang semuanya kompetitif. Jadi mau dan tidak mau kita kan sebagai duta bangsa, duta dari negara berarti kita juga harus menunjukkan kredibilitas kita dan profesionalisme kita dalam hal belajar mengajar."

Lain pula dengan Iman yang seluruh teman kuliahnya adalah mahasiswa domestik. “Nah saya sendiri tantangan itu berada di kelas yang full domestic students dan komunikasi terutama ketika kita melakukan diskusi itu saya agak terbentur karena mostly (umumnya) mereka memakai slang atau bahasa gaulnya anak sini. Makanya saya sering minta penjelasan lebih ketika mereka sudah bicara. Saya harus bertanya kepada mereka, apa maksudnya.”

Your browser doesn’t support HTML5

Mahasiswa dari Aru dan Kefamenanu Belajar di Washington DC

Hubungan antar mahasiswa dan dosen-mahasiswa dalam pembelajaran

Iman mengatakan kelebihan sistem pembelajaran di Amerika yang diamatinya adalah hubungan antara profesor dengan mahasiswanya. “Kalau di Indonesia hubungan mahasiswa dengan dosen itu kan kita agak enggan untuk melakukan diskusi dengan dosen kita atau advisor, tapi di sini itu saya tidak temukan. Jadi kita lebih fleksibel dengan profesor yang membuat kita tidak canggung. Kapan saja kita bisa menemui mereka selama office hours (jam kerja) dan yang kedua, kelebihan mereka itu adanya teknik peer review (tinjauan antar teman). Teknik pembelajaran peer review sangat membantu karena kita bisa belajar lebih dalam tentang suatu topik ketika kita mendapatkan feedback (umpan balik) atau masukan dari teman atau profesor di kelas.”

Iman juga bisa belajar banyak dari mahasiswa kakak kelas yang menurutnya sangat terbuka dan bersedia menjadi mentor. Dia mengatakan manakala ada mahasiswa junior yang menemui kesulitan atau kekurangpahaman tentang suatu topik, mahasiswa senior siap membantu. “Kapan pun kita butuh bantuan, mereka akan membantu. Mereka akan membalas email kapan saja karena mereka selalu mengecek email – suatu hal yang kita jarang lakukan. Di sini seperti suatu keharusan untuk mengecek email sesering mungkin,” tambahnya.

Kelebihan-kelebihan seperti itu juga diamati dan dialami sendiri oleh Abraham di GWU, bahwa “profesor itu sangat fleksibel dengan mahasiswa terutama ketika mahasiswa-mahasiswanya mengalami kesulitan dalam mengerjakan salah satu tugasnya. Jadi mereka terbuka untuk selalu membantu.,” kata Abraham.

“Kelebihan yang lain adalah mungkin karena kebetulan saya di school of business, jadi hampir di setiap kelas saya itu biasanya didatangkan guest speaker dari perusahaan-perusahaan ternama di Amerika dan kita langsung belajar sama mereka, dan itu sangat menjadi motivasi buat kita untuk langsung belajar dengan orang-orang yang building their business from zero to hero.”

Rencana setelah lulus S2 Amerika

Sebagai pecinta tanah air sekaligus penerima beasiswa LPDP, baik Abraham maupun Iman mengatakan bahwa setelah menggondol gelar Master mereka akan pulang ke Indonesia dan memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara.

“Mungkin ke depan setelah menyelesaikan jenjang Master di sini saya kembali ke RI untuk meneruskan apa yang sudah saya kerjakan, membenahi lagi apa yang selama ini masih belum bagus untuk memajukan bangsa dan negara melalui sektor pendidikan, sektor pariwisata dan juga sektor bisnis.”

Senada dengan aspirasi Abraham, Iman menegaskan niatnya untuk terus mengabdi sebagai pegawai negeri. “Saya masih seorang pegawai negeri sipil. Jadi setelah menyelesaikan pendidikan saya di sini saya akan kembali ke Indonesia khususnya ke Kabupaten Timor Tengah Utara untuk mengimplementasikan semua pengetahuan, keterampilan dan pengalaman di sini di tempat kerja saya.” [lt/ab]