Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan jauh di negeri orang memiliki keunikan tersendiri. Beberapa mahasiswa Indonesia di negara Paman Sam ini, berbagi cerita tentang pengalamannya untuk pertama kali menunaikan ibadah puasa Ramadan di Amerika kepada VOA.
Bulan Ramadan di Amerika, tahun ini jatuh menjelang musim panas. Umat Islam di beberapa tempat di Amerika, berpuasa di tengah cuaca yang cukup panas dan matahari yang terik di siang hari. Suhu rata-rata bisa mencapai antara 31-37 derajat Celcius.
Adis Rahma, mahasiswa baru asal Indonesia merasakan cuaca di Washington DC selama musim ini hampir sama seperti di kota asalnya, Surabaya. Mahasiswi yang merantau jauh dari keluarga dan tengah menekuni program Magister Keuangan di American University mengemukakan ia kaget ketika mulai berpuasa di sini.
“Awalnya kaget ya soalnya kan ini pertama kali saya puasa lebih lama daripada yang di Indonesia. Di sini puasanya sekitar 16 jam. Terus juga jauh dari keluarga, jauh dari teman. Cuacanya juga mulai panas di Washington DC,” jelasnya.
Mahasiswa Indonesia lainnya asal Jakarta, Tubagus Maqdisi juga mengungkapkan kondisi cuaca di negara bagian Texas yang berbeda dari pantai timur Amerika
“Mungkin kalau jalan keluar, mungkin bakal cepat haus ya kalau banyak jalan keluar rumah, terutama lebih banyak aktivitas in door-nya kalau lagi bulan puasa gini.”
Tubagus mahasiswa S-2 Sains dan Teknik Industri di Texas A&M University mengutarakan pengalaman Ramadan pertamanya di Amerika. “Kalau di sini, business run as usual. Jadi sebagai Muslim di sini tetap menjalani hari-hari seperti biasa saja, seperti tidak ada apa-apa,” tuturnya.
Kendala serupa juga dialami Adis, yakni jadwal kuliahnya yang bertabrakan dengan jam sholat dan berbuka puasa.
Meskipun demikian, ini bukan masalah baginya. Untuk berbuka, ia mengatasinya dengan menyiapkan makanan untuk dibawa ke kampus. Atau, sekadar membawa makanan ringan yang bisa dimakan di dalam kelas saat berbuka sambil melanjutkan kegiatan belajar di kelas.
Tetapi bagi Adis, Ramadan juga memberinya kesempatan yang baik untuk menjelaskan tentang Islam, Ramadan dan puasa.
“Kebanyakan dikira saya benar-benar ga boleh makan ga boleh minum selama sebulan. Saya juga seperti mengedukasi mereka tentang Muslim itu selama Ramadan. Kegiatannya apa saja, terus term-terms yang mereka baru tahu, itu juga saya kasih tahu,” jelasnya.
Selama berpuasa, Tubagus mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan, di antaranya menonton film dan berbelanja bersama teman-temannya, sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kita pingin kayak mengingat-ingat bagaimana buka (puasa) di Indonesia. Jadi, kita kayak belanja bareng-bareng bahan-bahan masakan rumah untuk bikin masakan-masakan Indonesia dan bukaan-bukaan khas Indonesia seperti es buah,” jelas Tubagus.
Kedua mahasiswa baru di Amerika ini tentu saja masih teringat dan merindukan suasana berpuasa di Indonesia. Mulai dari santapan berbuka, berkumpul menunggu adzan Magrib dan berbuka puasa bersama keluarga dan teman-teman atau sholat tarawih di masjid.
Akan tetapi Adis dan Tubagus sangat menikmati pengalaman pertama mereka berpuasa di Amerika. Adis mengatakan, pengalaman berharga yang ia peroleh adalah merasakan menjadi minoritas di negara yang terdiri dari bermacam kelompok masyarakat. Meskipun ia berada di tengah orang-orang dengan kepercayaan dan latar belakang yang berbeda-beda, mereka dapat saling toleransi. [mg/uh].