Pengamat: Biaya Politik Tinggi Picu Kemunduran Kualitas Demokrasi di Indonesia

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin ketika melakukan kampanye saat Pemilihan Presiden di Tangerang, Banten, 7 April 2019. (Foto dok: REUTERS/Willy Kurniawan)

Tingginya biaya politik dalam sebuah kampanye menjelang pemilu disebut-sebut ikut berperan dalam kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia. Bukan hanya itu, biaya politik yang tinggi juga memberikan kesempatan para elite ekonomi mengontrol jalannya pemilu.

Pemilu dan pilkada di tahun 2024 semakin dekat. Suhu politik menjelang pemilu juga meningkat. Kendati pesta demokrasi akan digelar. Namun, pengamat dari Universitas Amsterdam, Ward Berenschot, menilai kualitas demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Salah satu penyebabnya adalah biaya politik yang tinggi dalam kegiatan pemilu mengakibatkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Hal itu dikatakan Ward dalam diskusi daring "Masa Depan Demokrasi Indonesia di Tengah Dinamika Pemilu 2024".

"Proses kemunduran demokrasi di Indonesia disebabkan peran uang dalam pemilu. Peran uang yang begitu penting itu memang memunculkan kelemahan demokrasi yang bisa kita lihat sekarang," katanya, Kamis (14/4).

Your browser doesn’t support HTML5

Pengamat: Biaya Politik Tinggi Picu Kemunduran Kualitas Demokrasi di Indonesia

Menurut Ward, ada beberapa indikasi demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran akibat tingginya biaya politik. Dia mencontohkan ongkos mahal untuk kegiatan kampanye pemilu hingga pilkada malah memberi kesempatan para elite ekonomi mengontrol politik dengan uang yang mereka punya.

"Mereka bisa memunculkan calon masing-masing akibat ongkos politik yang begitu tinggi," ungkapnya.

BACA JUGA: Sambut Pemilu 2024, Jokowi Minta KPU Berikan Pendidikan Politik Kepada Masyarakat

Biaya politik yang tinggi itu juga membuat maraknya jual beli suara yang tak mampu dibendung oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dengan kata lain, kemunduran demokrasi di Indonesia akibat biaya politik yang tinggi kian nyata.

"Bawaslu tidak mempunyai kemampuan untuk menghentikan praktik itu. Biaya kampanye begitu tinggi di Indonesia karena terkait sistem daftar terbuka. Tapi juga karena kelemahan partai politik di Indonesia," ucap Ward.

Atas hal tersebut, Ward menilai diperlukan adanya evaluasi terkait sistem elektoral di Indonesia termasuk mengurangi ongkos politik yang cukup tinggi.

"Melihat sistem elektoral kembali dan mengevaluasi. Apakah sebuah reformasi sistem elektoral di Indonesia bisa mengurangi biaya ongkos politik dan (memperbaiki) kesehatan politik di Indonesia. Itu bukan hal mudah tapi harus dipikirkan dengan baik," pungkasnya.

Lima Tantangan Pemilu & Pilkada 2024

Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, memaparkan ada lima tantangan pemilu dan pilkada di tahun 2024.

Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perludem

Pertama, pesta demokrasi itu akan dilaksanakan di tengah situasi pasca-pandemi COVID-19. Tentunya ini menambah kompleksitas dan konsekuensi biaya.

Kedua, akan ada irisan tahapan pemilu dan pilkada di tahun 2024 membuat beban berat petugas penyelenggara pemilu yang bisa memengaruhi kredibilitas dan integritas.

"Termasuk juga atensi yang didominasi pemilu nasional sehingga isu-isu lokal itu menjadi tenggelam oleh praktik kompetisi (pemilu) di tingkat nasional," ujar Titi.

Ketiga, adanya kerumitan teknis memengaruhi kualitas dan kemurnian suara pemilih, misalnya tingginya surat suara tidak sah (invalid votes) yang mencederai daulat rakyat.

BACA JUGA: Survei SMRC: Elektabilitas Ganjar dan Anies Jelang Pilpres 2024 Menguat

Keempat, adanya gangguan terhadap hak pilih berupa jual beli suara serta serangan disinformasi yang membuat pemilih tidak bisa memberikan suaranya secara valid sesuai dengan pertimbangan yang demokratis.

Kelima, pilkada yang dilaksanakan di tahun yang sama akan memicu pragmatisme partai akibat konsolidasi internal yang tidak optimal akibat belum sepenuhnya pulih dari pemilu legislatif dan pilpres.

"Mereka langsung masuk ke pilkada dan ini bisa menyuburkan praktik mahar politik. Pada akhirnya bisa berkontribusi meningkatkan tren calon tunggal.ini sesuatu yang tidak demokratis di tengah sistem multipartai yang kita anut," tandas Titi.

Pemilu dan pilkada serentak akan dilangsungkan pada 14 Februari 2024. Sesuai ketentuan Pasal 167 ayat (6) UU Pemilu No.7/2017, maka tahapan pemilu sudah akan dimulai pada pertengahan Juni 2022 ini. [aa/em]