Pengamat: Burung Migran Masih Terancam

Burung-burung beterbangan di pelabuhan tua Cesarea, Israel, 19 Januari 2018. (Foto: dok).

Hari Migrasi Burung Sedunia atau yang biasa lebih dikenal dengan World Migratory Bird Day diperingati dua kali dalam setahun tepatnya pada bulan Mei dan Oktober. Beberapa wilayah di Indonesia menjadi tempat persinggahan burung migran tersebut. Namun, pada saat itu pula ancaman menghantui burung-burung migran.

Pengamat burung air dari Yayasan Lahan Basah, Yus Rusila Noor mengatakan burung air dan burung-burung jenis lain yang sedang bermigrasi masih menghadapi sejumlah ancaman ketika menjadikan suatu wilayah sebagai tempat persinggahan. Perubahan peruntukan adalah satu di antaranya.

"Ini juga dikaitkan dengan hasil penelitian secara global yang paling mengancam adalah perubahan peruntukan dalam arti tadinya di situ lahan basah, hamparan lumpur tapi diubah menjadi perumahan, tambak dan lainnya. Itu ancaman utama sehingga burung-burung tidak ada lokasi," kata Yus, Senin (11/5).

Burung hantu di dalam sangkar dijual di pasar burung di Tangerang, 17 September 2017. (Foto: dok).

Burung migran juga masih menjadi buruan utama manusia. Burung-burung tersebut kerap dimanfaatkan manusia untuk menambah pundi-pundi rupiah lewat perdagangan dagingnya. Contohnya di beberapa wilayah di Indonesia seperti Cirebon, dan Indramayu masih kerap ditemukan burung-burung migran yang berubah menjadi kudapan atau santapan manusia.

"Itu masih menjadi ancaman, dan juga polusi semakin banyak mengancam burung. Polusi tidak hanya pupuk pestisida tapi bisa jadi polusi cahaya karena burung migran terbiasa untuk tinggal di lokasi yang dikenalinya. Kalau kemudian yang tadinya lokasinya gelap terisolir, tapi menjadi tambak terang benderang akibat lampu. Itu akan akan mengacaukan navigasi mereka," ucap Yus.

"Navigasi mereka akan kacau dan burung-burung itu akan menghindar dari tempat tersebut. Sementara burung-burung migran belum tahu lokasi lainnya. Itu yang akan mengganggu burung-burung migran," tambahnya.

Pengamat burung, Yus Rusila Noor saat mengamati burung migran di salah satu pantai di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. (Dokumen pribadi).

Bertepatan dengan Hari Migrasi Burung Sedunia, Yus mengajak masyarakat untuk berbagi ruang dan tempat dengan burung-burung migran. Ia juga mengimbau kepada pemerintah untuk mempertimbangkan burung migran dalam pembangunan di Indonesia.

"Mari bersama-sama kita mencintai burung air, bukan hanya tidak secara langsung tapi juga menyediakan tempat mereka mencari makan. Hanya waktu tertentu mereka datang dan kemudian mencari makan. Nah itu waktu kritis buat burung-burung migran. Saya juga mengajak mahasiswa dan pemuda untuk mengamati burung karena itu menyenangkan," ujarnya.

Terkait dengan Hari Migrasi Burung Sedunia, Yus menuturkan setiap tahunnya perayaan hari itu mengusung tema yang berbeda.Sementara 2006 bertema "Flu Burung", pada 2020 bertema "Burung Sebagai Penghubung Dunia Kita".

"Pada tahun 2020 temanya adalah terkait Birds Connect Our World dalam pengertian itu sebenarnya benar-benar burung migran itu menghubungkan mereka yang sedang berada di Rusia, dan Korea, Indonesia, di pertengahan sampai ke negara-negara Pasifik seperti Australia, dan Selandia Baru," tuturnya.

Ratusan burung memadati pantai Agua Dulce di Lima, Peru, yang biasanya ramai pengunjung, Selasa, 24 Maret 2020.

Negara-negara yang disebutkan Yus merupakan jalur terbang burung-burung yang bermigrasi. Yus menjelaskan, burung-burung tersebut berkembang biak di wilayah Siberia, hingga Alaska. Kemudian pada musim dingin tiba burung-burung tersebut migrasi ke wilayah Asia Timur pada bulan September dan Oktober.

"Turun ke Asia Timur seperti China, Jepang, dan Korea. Lalu ke Asia Tenggara dan berakhir di negara-negara Pasifik umumnya di Australia. Pada bulan berikutnya Februari, Maret, hingga April balik lagi ke lokasi pertama berbiak. Mereka berbiak di atas (utara) wilayah Siberia turun ke bawah hanya untuk mencari makan tidak kawin. Lalu, balik lagi untuk berbiak di wilayah Siberia," jelasnya.

Rata-rata burung yang migrasi merupakan jenis burung air, burung pemangsa dan burung hutan. Mereka melakukan migrasi dari Siberia, dan Alaska pada saat musim dingin untuk mencari makanan dan tempat ke wilayah dengan iklim tropis.

Ratusan burung air saat melakukan migrasi dan melintasi wilayah Indonesia. (Courtesy: Yayasan Lahan Basah/ Wetlands International Indonesia).


"Kenapa mereka melakukan itu? Karena di lokasi berbiak di Siberia pada musim dingin itu semua bersalju tidak mungkin bisa hidup di sana. Jadi buat mereka ini adalah masalah hidup atau mati. Kalau mereka telat akan mati terkubur oleh salju, dan burung-burung itu harus turun. Tapi kalau mereka telat juga untuk datang berbiak, burung-burung tidak akan bisa memberikan makanan untuk anak-anaknya," ujar Yus.

Selama musim itu kemudian para peneliti, masyarakat, dan pemerhati burung melakukan pengamatan di masing-masing negara. Penelitian yang dilakukan menyangkut jenis, jumlah, dan asal lokasi burung.

Seekor burung migran di sungai Wazzani dekat Khiam, Lebanon selatan, 4 September 2016. (Foto: dok).

"Tapi kalau peneliti yang sudah maju itu dia memasang cincin dan telemetri. Nah, itu maksudnya yang menghubungkan dunia. Hanya burung-burung dan satwa lain yang bermigrasi lainnya menghubungkan orang di berbagai lokasi.Pada saat yang sama melakukan kegiatan serupa meski derajatnya berbeda-beda. Itu filosofinya kenapa tema tersebut yang dipilih pada tahun ini," tutur Yus.

Sementara Yus mengucapkan, saat ini burung-burung migran tersebut telah melewati wilayah Indonesia, mereka yang sebelumnya terbang dari negara Pasifik akan menuju tempat burung-burung migran itu berbiak di wilayah Siberia.

"Jadi sekarang sudah melewati meski ada beberapa umurnya setahun masih tertinggal di Indonesia dan burung-burung itu mungkin tidak balik karena belum berkembang biak. Pengamatan terbaik adalah September hingga April. Itu puncaknya pada Desember sampai Januari di lokasi-lokasi tertentu," ucapnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Pengamat : Burung Migran Masih Terancam

Di Indonesia sendiri, Sumatra seperti Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jambi dan Lampung merupakan wilayah yang dijadikan persinggahan oleh burung-burung migran. Sementara, di wilayah lain seperti Jawa tepatnya di sepanjang Pantai Utara Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Papua, juga menjadi tempat persinggahan burung-burung migran. Jumlah terbesar dalam satu kelompok yang bermigrasi adalah 190.000 ekor.

Ketua Protection of Forest and Fauna (ProFauna) Indonesia, Rosek Nursahid, mengatakan migrasi burung tidak memberikan dampak secara langsung terhadap lingkungan. Pasalnya, migrasi tersebut merupakan proses fenomena alam yang rutin terjadi setiap tahun ketika ada perubahan iklim di negara asal burung-burung tersebut.

Fenomena alam dari migrasi tersebut bisa dikembangkan menjadi sebuah atraksi untuk wisata pengamatan burung.

Burung maleo di Tanjung Binerean, Sulawesi Utara. (Iwan Hunowu/Wildlife Conservation Society)

"Seharusnya ketika itu dikelola atau dikembangkan oleh pemerintah pada titik-titik tertentu ya jadi perlintasan migrasi akan menarik kalau itu menjadi untuk pengamatan burung migrasi. Saya pikir akan punya nilai ekonomi juga kalau itu dikembangkan," kata Rosek kepada VOA.

Sementara itu, sejauh ini ProFauna belum pernah mendapat laporan soal burung migrasi yang keberlangsungan hidupnya terancam saat singgah di suatu wilayah terutama di Indonesia.

"Biasanya spot-spot mereka singgah itu relatif terpencil jadi jarang bersentuhan langsung dengan manusia kecuali pengamat-pengamat burung," pungkas Rosek. [aa/ab]