Terlepas dari kehadiran pasukan Suriah dan Rusia yang masif di Suriah selatan, militan yang berafiliasi dengan kelompok Negara Islam, alias ISIS, juga masih tampak aktif di wilayah tersebut.
Pekan lalu, anggota pasukan tempur lokal, di mana beberapa di antaranya berafiliasi dengan pemerintah Suriah, melakukan sebuah operasi untuk menarget beberapa tempat persembunyian milik mata-mata ISIS di sebuah kota di provinsi Daraa, di selatan Suriah. Dalam serangan itu, sedikitnya enam anggota ISIS tewas, dan tiga rumah yang digunakan sebagai pusat operasional ISIS dihancurkan, menurut laporan media setempat.
Operasi yang berlangsung selama beberapa hari dan berakhir pada Minggu (23/10) itu tampaknya dilancarkan sebagai tanggapan terhadap pemboman bus militer yang terjadi di ibu kota Suriah, Damaskus, pada 13 Oktober lalu. Aksi pengeboman itu menewaskan sedikitnya 18 tentara Suriah.
Rusia, pendukung kuat pemerintah Suriah, menuduh sel-sel ISIS di Daraa melakukan serangan tersebut.
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia mengatakan kepada VOA bahwa pihaknya belum dapat mengonfirmasi apakah orang-orang yang ditarget di Daraa memang orang-orang yang bertanggung jawab atas pemboman di Damaskus.
“Tapi yang pasti mereka yang tewas di kota Jasim [di Daraa] merupakan warga negara Suriah dan Irak yang memang anggota Daesh,” kata Rami Abdulrahman, direktur lembaga pengamatan yang bermarkas di Inggris itu, merujuk pada ISIS dengan menggunakan akronim bahasa Arabnya.
Seorang pegiat media di Daraa, yang meminta identitasnya disembunyikan untuk alasan keamanan, memberitahu VOA bahwa salah seorang mata-mata ISIS yang tewas dalam operasi minggu lalu merupakan seorang pemimpin berkedudukan tinggi yang bertanggung jawab atas pembunuhan beberapa mantan tokoh oposisi di Suriah selatan.
Sejak 2018, ketika pasukan pemerintah Suriah dan milisi sekutu merebut kembali wilayah dari pasukan pemberontak, Daraa dan daerah sekitarnya sesekali mengalami serangan yang diklaim militan ISIS dan kelompok ekstremis lainnya.
Sadradeen Kinno, peneliti Suriah yang mengikuti dari dekat kelompok-kelompok militan di negara yang dilanda perang itu, mengatakan bahwa rezim Suriah dan sekutunya, Rusia, belum membersihkan Suriah selatan dari kelompok-kelompok radikal, termasuk ISIS.
“Situasi keamanan di Daraa dan daerah selatan lainnya tetap rapuh karena kemampuan rezim Suriah untuk menghadirkan stabilitas pasca ISIS berbeda dari pemain lain yang telah memerangi Daesh, seperti Pasukan Demokratis Suriah (yang didukung AS) di Suriah timur laut,” katanya kepada VOA.
Pertama, kata Kinno, unit militer rezim di setiap bagian Suriah berada di bawah komando asing yang berbeda, termasuk Rusia dan Iran.
“Unit-unit yang berafiliasi dengan Rusia di selatan dalam beberapa bulan terakhir terbukti tidak efektif dan tidak terorganisir, sebagian besarnya karena Rusia sedang fokus pada perangnya di Ukraina,” katanya. Ia menambahkan bahwa sel-sel ISIS “secara alami mengeksploitasi situasi tersebut untuk meningkatkan kehadiran mereka di selatan.”
Rezim Suriah saat ini tidak mampu mendorong keluar operasi ISIS yang berada di wilayah kekuasannya, kata Kinno.
Pakar lain menyebut pemerintah Suriah bisa saja menoleransi kehadiran beberapa elemen ISIS untuk mengancam kelompok-kelompok pemberontak lain yang belum berekonsiliasi dengan pemerintah.
Sebagai bagian dari kesepakatan yang ditengahi Rusia tahun 2018, pemerintah Suriah mengizinkan beberapa kelompok pemberontak untuk berada di Daraa selama mereka setuju untuk meletakkan senjata mereka atau bertempur di bawah komando pemerintah. Meski demikian, beberapa kelompok tetap mempertahankan senjata mereka tanpa bertempur bersama pasukan pemerintah.
“Narasi rezim Suriah yaitu bahwa semua kelompok fundamentalis di selatan telah ditangkap sejak 2008, namun kami terus mendengar tentang munculnya sel-sel Daesh di kota-kota di seluruh Daraa,” kata Hisham al-Masalmeh, pengamat politik Suriah asal Daraa yang kini berbasis di Belgia.
“Setiap kota di Suriah selatan dikendalikan oleh puluhan pos pemeriksaan, jadi patut dipertanyakan bagaimana sel-sel Daesh ini bisa menyusup ke kota mana pun di daerah itu,” katanya kepada VOA.
“Jelas bahwa rezim itu mencoba menggunakan mereka untuk melawan kelompok-kelompok pemberontak lokal.” [rd/rs]
Berita ini berasal dari VOA layanan bahasa Kurdi