Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengatakan mahasiswa adalah pihak yang sangat rentan terpapar radikalisme atau paham radikal. Namun, paham tersebut juga berpotensi dapat menjangkiti semua kalangan.
Hal tersebut terjadi, kata Ridlwan, karena rata-rata mahasiswa masih dalam taraf mencari paradigma baru dalam memahami agama, sementara kurikulum di perguruan tinggi khususnya negeri, kurang mencukupi untuk memenuhi keingintahuan mereka.
“Misalnya masih sangat sangat basic dogmatic, misalnya soal iman. Tetapi hal-hal yang kekinian misalnya perlukah kita mendirikan khilafah, bagaimana sebenarnya sejarah khilafah secara historic, itu tidak dapat di perguruan tinggi negeri itu,” kata Ridlwan kepada VOA, Sabtu (28/5).
Oleh karena itu, lanjutnya, banyak mahasiswa yang mencari jawabannya di luar kampus atau kalaupun di dalam kampus biasanya melalui jalur informal, seperti alumni atau orang luar kampus buat kajian di dalam kampus.
“Tetapi ini justru mengarah ke idiologi tertentu, dalam hal ini ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria -red), al-Qaeda dan lain sebagainya,” tambahnya.
Ridlwan menilai pengetahuan-pengetahuan seperti tentang khilafah, hukum Islam terkait serangan bom bunuh dan bagaimana memahami tentang bom bunuh diri justru harus dimasukan dalam kurikulum pada semester awal. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa tidak mencari hal-hal tersebut di luar kampus atau mencari sumbernya di platform media sosial seperti Youtube dan Telegram chanel atau bahkan pengajian-pengajian di luar kampus.
“Mestinya kampus justru masuk dalam isu-isu terkini seperti itu. Itu kan pembicaraan-pembicaraan yang seolah tabu yang kemudian tidak dibahas. Nah karena dibuat tabu maka anak-anak muda ini kan malah penasaran dan mencari literatur lain dan ketemulah mereka literatur-literatu yang menurut mereka lebih menyakinkan ternyata itu kan ISIS seperti yang dialami mahasiswa Universitas Brawijaya ini,” ungkap Ridlwan.
BACA JUGA: AS Beri Sanksi 5 WNI terkait Pendanaan ISIS, Indonesia Tunggu Sikap PBBBaru-baru ini Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap seorang mahasiwa Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, berinisial IA (22 tahun) karena diduga menjadi simpatisan ISIS.
Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional angkatan 2019 itu diduga berperan sebagai penyebar propaganda ISIS lewat media sosialnya. Selain itu, mahasiswa yang memiliki IPK di atas 3 ini juga diduga mengumpulkan dana untuk membantu ISIS di Indonesia.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwahid mengatakan kasus mahasiwa masuk dalam jaringan terorisme bukan hal baru, mengingat kelompok teroris memang banyak menargetkan kalangan generasi muda.
“Radikalisme atau ekstremisme ini adalah paham yang menjiwai aksi terorisme. Dan ini ibarat virus idiologi yang potensial pada setiap individu manusia, tidak melihat suku, agama, ras. Tidak melihat profesi bahkan tidak melihat kadar intelektualitas seseorang,” kata Nurwahid.
Ia menambahkan selama ini lembaganya telah bekerjasama dengan Kemendikbudristek dalam bentuk sinergitas atar kementerian dan lembaga termasuk lembaga pendidikan dalam rangka mencegah radikalisme.
BNPT, lanjutnya, akan terus meningkatkan program pencegahan penyebaran paham radikal. [fw/ah]