Peneliti Studi Islam, Abdul Muiz Ghazali, menyatakan warga Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya terbiasa dengan kehadiran LGBT sejak dulu, terlebih karena menurutnya ada ruang dalam Islam untuk memahami keberagaman gender. Tetapi hal ini berubah sejak 2017, ketika mulai ada penolakan yang tampaknya diwarnai unsur politis terhadap komunitas tersebut.
“Di dalam Islam juga ada istilah-istilah yang berbicara soal orientasi seks. Misalnya, irbah minar rijal, laki-laki yang tidak punya hasrat seksual terhadap perempuan. Terus ada istilah mukhannath yaitu laki-laki yang tampil sebagai perempuan,” kata Abdul Muiz menjelaskan saat dihubungi kepada VOA.
“Soal kasus penolakan LGBT yang ada sekarang itu pada hakekatnya tidak murni dari Islam tapi lebih dari persoalan politik. Jadi LGBT ini ‘digoreng’ sedemikian rupa bagi tujuan politisi yang pada hakikatnya tidak terlalu berhubungan dengan persoalan agama,” kata Abdul Muiz menambahkan.
Dosen dan peneliti di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon ini juga meminta masyarakat lebih bijak dalam menyikapi LGBT. Para ulama menurutnya dapat memahami komunitas tersebut dari segi ilmu pengetahuan, serta menyertakan konteks sejarah dan sosial dalam menafsirkan ayat-ayat kitab suci terkait LGBT.
“Tidak terlalu reaktif. Karena nabi tidak mengajarkan reaktif, selalu mengajarkan musyawarah dan pendidikan. Pendidikan belum ada kok tiba-tiba ada hukum? Karena sebelum menghukumi kita harus tahu substansi dari apa yang dihukumi,” paparnya.
Dua demo menolak LGBT berlangsung di Payakumbuh, Sumatera Barat, Senin (5/11) dan di Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/11). Dalam aksi itu, kelompok ormas meminta pemerintah daerah masing-masing mengeluarkan peraturan daerah yang pada intinya melarang keberadaan LGBT. Secara terpisah, DPRD masing-masing daerah menyatakan sedang merancang peraturan itu.
BACA JUGA: Razia dan Semprot LGBT di Lampung "Tidak Manusiawi"Aturan semacam itu dianggap tidak sejalan dengan UUD 1945 yang melindungi semua warga negara, ujar pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Naila Rizqi Zakiah. Karena itu menurutnya pemerintah harus tetap berpegang teguh pada konstitusi.
“Sepanjang aspirasi masyarakat itu sejalan dengan UUD itu nggak masalah. Tapi kalau UUD punya prisnip non-diskriminasi, maka negara harus patuh pada UUD bukan pada aspirasi masyarakat. Aspirasi itu kan perlu kita kaji lebih dalam. Apakah aspirasi ini muncul dari kesadaran akan hak asasi manusia atau justru muncul dari politik kebencian yang dibangun oleh elit atau kelompok tertentu gitu, kan,” pungkasnya.
Naila menambahkan, aturan diskriminatif dapat meningkatkan kekerasan terhadap LGBT.
Dalam laporan pada 2017, LBH Masyarakat mencatat ada 45 pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap LGBT. Ujaran kebencian menjadi yang tertinggi (15 kasus) disusul upaya kriminalisasi (12 kasus). Lembaga ini juga mencatat ada 106 pelaku stigma, diskriminasi, dan kekerasan terhadap LGBT selama 2017. Yang terbanyak adalah organisasi masyarakat (ormas) dengan 29 pelaku dan aparat penegak hukum (APH) dengan 25 pelaku.
Naila Rizqi mengajak masyarakat menghormati hak-hak LGBT sebagai warga negara meski tidak setuju dengan keberadaan mereka. Hal itu juga harus didorong dengan sikap pemerintah yang berlaku adil terhadap minoritas seksual itu.
“Negara juga harus cerdas. Bahwa dalam konstitusi itu nggak boleh ada diskriminasi. Mau kalian bilang LGBT itu kaum sodom, dosa atau apapun, LGBT adalah warga negara Indonesia. Mereka (aparat) juga harus setia dengan konstitusi," kata Naila Rizqi menegaskan.
"Kalau profesional setia pada keilmuannya, negara dan aparatur negara harus setia pada konstitusi. Nah, itu yang tidak terjadi saat ini,” paparnya. [rt/em]