Pengamat: Pembebasan Tersangka Pembunuh Vina Cermin Ketidakprofesionalan Polisi

ILUSTRASI - - Seorang polisi memasang garis penjagaan selama penyelidikan, menyusul ledakan di sebuah kantor polisi yang menurut pihak berwenang merupakan dugaan bom bunuh diri, di Bandung, Jawa Barat. (Willy Kurniawan/REUTERS)

Sejumlah pengamat mengatakan, bebasnya Pegi Setiawan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung dalam kasus pembunuhan remaja bernama Vina Arsita dan Muhammad Rizky di Cirebon, Jawa Barat, pada 2016 lalu mencerminkan kinerja kepolisian yang buruk.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengatakan bebasnya Pegi menunjukkan ketidakprofesionalan kepolisian dalam melakukan penyelidikan.

“Terkait substansi putusan tersebut, dengan putusan praperadilan dari Hakim Eman Sulaeman yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka terhadap Pegi Setiawan tidak sah, itu menunjukkan bahwa polisi tidak profesional dalam menjalankan tugasnya,” ungkap Sugeng kepada VOA.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Bandung mengabulkan gugatan praperadilan Pegi tersangka kasus pembunuhan Vina. Hakim tunggal PN Bandung Eman Sulaeman dalam amar putusan yang dibacakannya pada Senin (8/7) menyatakan, gugatan praperadilan ini dikabulkan karena tidak ada bukti bahwa Pegi pernah diperiksa oleh Polda Jawa Barat, sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, ia juga mengatakan di dalam penetapan tersangka, tidak cukup hanya dengan bukti permulaan dan minimal dua alat bukti namun harus diikuti dengan adanya pemeriksaan calon tersangka.

Lebih jauh, Sugeng mengungkapkan pihak kepolisian tidak mematuhi prosedur manajemen penyelidikan dan penyidikan yang baik. Ia menjelaskan, ada proses yang harus dilalui oleh seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, untuk akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Di antaranya, kata Sugeng, pemanggilan terduga pelaku sebagai saksi terlebih dahulu untuk dimintai keterangan dengan surat resmi panggilan dari kepolisian.

ILUSTRASI - Aparat penegak hukum memegang borgol saat meninjau warga sebelum mereka menerima hukuman karena melanggar syariat di Banda Aceh, 21 Desember 2022. (CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP)

“Di dalam manajemen penyelidikan dan penyidikan, seorang terduga pelaku itu harus dikirimkan surat panggilan dulu untuk diperiksa sebagai saksi. Kalau polisi punya analisis dan bukti bahwa ini terduga pelaku, buktinya cukup kuat, maka dia dipanggil dulu sebagai saksi untuk dimintai keterangan. Ini tidak dilakukan oleh polisi, jadi itu kesalahan prosedur,” jelasnya.

Selain itu, ketika dilakukan penangkapan pun harus disertai dengan alat bukti yang cukup untuk menyatakan seseorang sebagai pelaku tindak pidana. Bukti yang dimaksud Sugeng adalah bukti yang sangat kuat dan meyakinkan.

“Apakah Pegi ini bisa dikatakan salah tangkap atau tidak? Dari sisi aspek hukum saya sebagai Ketua IPW menyatakan Pegi tidak patut ditangkap, karena tidak memiliki dasar untuk polisi menangkap Pegi. Alasannya, karena Pegi belum diperiksa sebagai saksi, jadi dia tidak boleh ditangkap,” tuturnya.

Menurutnya, kasus yang kerap terjadi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya, kata Sugeng, adalah keinginan polisi untuk menunjukkan kinerja yang baik agar memperoleh kenaikan pangkat atau jabatan. Maka dari itu, salah satu jalan yang kerap ditempuh polisi adalah merekayasa kasus.

“Tidak jarang dalam melakukan pengungkapan kasus ini terjadi namanya abuse of power, menggunakan pendekatan kekerasan supaya orang mengaku kemudian melakukan rekayasa kasus, dengan para saksi itu diarahkan, direkayasa ditekan mengikuti skenario,” katanya.

FILE - Anggota polisi khusus mempersiapkan patroli keamanan di sekitar kawasan turis di Kuta, dekat Denpasar, Bali, 23 Maret 2017. (Sonny Tumbelaka/AP)

Reformasi di tubuh kepolisian pun kerap digaungkan setiap ada permasalahan seperti ini. Dengan regulasi yang ada, kata Sugeng, ke depannya dibutuhkan keteladanan daripada pimpinan-pimpinan di kepolisian, agar kelak kenaikan pangkat atau jabatan memang betul-betul dihasilkan dari kinerja kepolisian yang transparan, akuntabel, jujur dan adil, serta sesuai dengan hukum yang berlaku.

Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana juga menyatakan bahwa bebasnya Pegi i menunjukkan kinerja Kepolisian Republik Indonesia yang tidak professional, tidak transparan, dan tidak akuntabel.

Ia menyatakan, kepolisian sebagai aparat penegak hukum kerap melakukan kesalahan yang sangat fatal.

“Yang akibatnya dalam praktiknya banyak kasus salah tangkap seperti kasus Pegi dan masih banyak kasus lain, seperti kasus penyiksaan, kasus kriminalisasi dan penyalahgunaan wewenang, penggunaan kekuatan bersenjata yang berlebihan seperti di Rempang, Kanjuruhan dan sebagainya,” ungkap Arif.

Kasus Pegi , kata Arif, mencerminkan fenomena gunung es. Maksudnya, terlihat hanya sedikit tapi sebetulnya ada banyak praktek penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh kepolisian sebagai aparat penegak hukum.

Anjing-anjing kepolisian ikut serta meramaikan parade memperingati HUT ke-78 Bhayangkara di Jakarta, 1 Juli 2024. (Bay ISMOYO / AFP)

Arif menjelaskan, akar permasalahan ini adalah kewenangan yang begitu besar yang dipunyai kepolisian di dalam sebuah proses penegakan hukum, namun tidak dibarengi dengan pengawasan yang efektif.

Ia mencontohkan, pada proses awal seperti penyidikan, pihak yang bisa mengawasi kinerja kepolisian adalah pengacara. Sayangnya, seringkali orang yang tersandung permasalahan hukum adalah orang yang tidak bisa menjangkau layanan pengacara karena biaya yang cukup mahal.

“Akhirnya apa? Ya sudah mereka tidak dibela sejak awal, padahal hak-hak saksi, hak-hak tersangka itu hanya bisa diakses kalau biasanya mereka punya pembela, kalau tidak biasanya polisi tidak mau memberikan,” jelasnya.

Permasalahan ini, katanya, juga dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dari kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Arif menyatakan kebanyakan penyidik kepolisian adalah lulusan SMA. Sehingga, katanya, meski memiliki kewenangan besar dalam proses penegakan hukum, mereka pada umumnya tidak paham sama sekali hukum acara pidana.

“Dan dalam prakteknya, seringkali yang terjadi adalah tidak profesional karena tidak memahami hukum dan HAM dengan benar. Mereka hanya patuh pada perintah atasan yang meskipun salah,” tambahnya.

ILUSTRASI - Polisi dan petugas penjara Indonesia dituduh melakukan penyiksaan para tahanan secara rutin dan sistematis.

Selain itu, dalam proses penyidikan, kepolisian kerap melakukan metode yang disebutnya primitif, yakni memaksa seorang terduga pelaku dengan siksaan untuk mengakui sebuah tindak kejahatan, agar dijadikan sebagai bukti. Padahal di dalam pasal 184 KUHAP yang namanya pengakuan tidak bisa dijadikan alat bukti. Alat bukti, menurutnya, termasuk keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, keterangan terdakwa di pengadilan..

“Dan yang menarik setiap praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan, kalau ketahuan dan dilaporkan tidak ada sanksi bagi mereka. Hhanya dikenakan teguran atau ditunda kenaikan jabatan atau pangkat berapa lama. Padahal, dalam konstruksi hukum internasional, penyiksaan itu pelanggaran HAM berat. Tetapi selama ini yang terjadi adalah tidak ada pengawasan kepada kepolisian, yang terjadi impunitas, mereka kebal hukum padahal (mereka) penjahat,” tegasnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Pengamat: Pembebasan Tersangka Pembunuh Vina Cermin Ketidakprofesionalan Polisi

Lantas, apakah reformasi besar-besaran di tubuh kepolisian itu memungkinkan? Arif menjawab hal tersebut hampir tidak mungkin dengan keadaan politik saat ini, mengingat pemerintah dan DPR malah memperluas kewenangan kepolisian lewat RUU kepolisian yang sedang dibahas saat ini. Menurutnya, masyarakat hanya bisa berpegang kepada kekuatan masyarakat sipil.

“Kasus Pegi menunjukkan ruang itu yang sebetulnya harus ditindaklanjuti lebih strategis lagi oleh masyarakat sipil, apa itu? Kekuatan masyarakat sipil, kekuatan "No Viral No Justice” itulah hukum rimba kita sekarang. Maksudnya, Pegi bisa diselamatkan karena viral ada filmnya, kemudian jadi diskursus di medsos berbulan-bulan, bahan diskusi di banyak pemberitaan. Baru kemudian polisi panik menangkap orang namanya Pegi, secara tidak professional, maladministrasi dan sebagainya,” pungkasnya. [gi/ab]