Presiden Prabowo Subianto menegaskan, bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen khusus untuk barang mewah dilakukan semata-sama hanya untuk melindungi rakyat kecil.
“Kan sudah diberi penjelasan ya, PPN adalah undang-undang (UU) yang kita akan laksanakan tapi selektif hanya untuk barang mewah, untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi. Sejak akhir 2023 pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil. Jadi kalaupun naik itu hanya untuk barang mewah,” tegasnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (6/12).
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai kebijakan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap penerimaan negara. Berdasarkan perhitungan kasar, proyeksi pendapatan negara dari PPN 12 persen untuk barang mewah ini kurang dari Rp2 triliun.
“Kami telah melakukan kalkulasi memang kalau dari segi potensi penerimaan itu cuma Rp1,7 triliun. Cuma memang betul kalau kita melihat dampak ke kelas menengah, bawah atau atas, kebijakannya secara teori memang hanya berdampak ke kelompok masyarakat kelas atas,” ungkap Fajry ketika berbincang dengan VOA.
Selain itu, menurutnya, kebijakan ini diskriminatif dan berpotensi tumpang tindih dengan pajak penjualan barang mewah (PPnBM).
Berdasarkan data penerimaan negara pada tahun 2021 lalu, jelas Fajry, setoran PPnBM paling banyak berasal dari kendaraan bermotor di bawah 3000 cc yang dikenakan layer tarif sekitar 15 persen. Ia mengatakan PPnBM yang didapat tidak cukup berarti dalam meningkatkan emasukan negara. Maka dari itu, Fajry menyarankan, pemerintah membatalkan kebijakan tersebut.
“Kenaikan tarif PPN kalau secara UU kita tidak mengenal sistem multi tarif, dia hanya single tarif. Kalau diaplikasikan terhadap objek tertentu ini boleh dibilang diskriminatif, apa dasarnya? Apakah dasarnya untuk meningkatkan progresivitas? Kalau untuk meningkatkan progresivitas ada PPnBM kenapa harus melalui kenaikan tarif PPN? Itu kan menjadi tanda tanya,” jelasnya.
Diwawancara secara terpisah, Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai kebijakan ini muncul karena pemerintah terdesak untuk mencari berbagai sumber pendapatan agar program-program pemerintah di tahun depan terutama program makan bergizi gratis dapat berjalan dengan baik.
“Latar belakang dari pemerintah kenapa sangat ingin menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen di tahun depan karena kebutuhan pendanaan dan (target) penerimaan pajak di tahun 2025 memang sangat besar kalau kita bandingkan dengan dua tahun terakhir. Kalau kita lihat dari outlook pemerintah saja, kemarin di nota APBN 2025 itu menginginkan setidaknya tahun ini peningkatan penerimaan negara lima persen,” ungkap Andri.
Berbeda dengan Fajry, Andri menilai orang kaya tidak akan merasa terlalu terdampak oleh kenaikan PPN tersebut karena tidak sebanding dengan pendapatan mereka yang sangat tinggi.
“Secara prinsip PPN ini adalah regresif, secara realita (dampaknya) lebih berat terhadap mereka yang penerimaannya pas-pasan dibandingkan dengan masyarakat yang berpendapatan tinggi karena kalau kita bandingkan misalnya mereka yang pendapatannya ratusan juta, tapi konsumsinya tidak sampai ratusan juta, sehingga kalau kita bandingkan secara realatif bagi orang kaya atau orang yang pendapatannya sangat tinggi ini kenaikan PPN ini hampir tidak ada rasanya bagi mereka, tetapi bagi mereka yang pendapatannya pas-pasan itu sangat terasa,” jelasnya.
“Itulah kenapa saya bilang kenaikan PPN ini mau dibuat bagaimana pun pasti akan tetap akan terasa bagi kelas menengah dan kelas bawah,” tambahnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Maka dari itu, menurutnya, untuk meningkatkan penerimaan negara dari sisi pajak dan merealisasikan prinsip pajak yang berkeadilan, pemerintah bisa meningkatkan pajak penghasilan (PPH) 21 atau PPH badan.
“Itu perlu pembangunan ekonomi dalam jangka panjang sehingga para pekerja, kelas menengah pendapatannya meningkat, sehingga penerimaan pajak dari PPH 21 meningkat, itu yang secara natural bisa terjadi. Jadi penerimaan pajak yang meningkat itu didasarkan oleh ekonomi dan pendapatan masyarakat kita yang meningkat secara natural oleh adanya pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani melihat kebijakan ini sebagai upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan penerimaan negara dengan kondisi daya beli masyarakat.
Meski begitu, Shinta menilai kejelasan peraturan teknis terkait kebijakan ini masih sangat diperlukan terutama dalam hal definisi dan pengelompokan barang mewah yang akan dikenakan tarif PPN 12 persen.
“Supaya kita berada dalam satu perspektif yang sama. Kejelasan mengenai hal ini sangat penting untuk memastikan implementasi kebijakan dapat dilakukan secara efektif dan adil,” ungkap Shinta melalui pesan singkat kepada VOA.
Shinta juga menekankan perlunya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengaturan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini, katanya, penting untuk tidak menimbulkan ketidakpastian di lapangan.
“Jika tidak disosialisasikan dengan baik atau definisinya terlalu luas, hal ini dapat menciptakan kebingungan di lapangan dan menambah kompleksitas administrasi bagi pelaku usaha. Oleh karena itu, dialog terbuka antara pemerintah dan dunia usaha menjadi kunci untuk memastikan kebijakan ini mendukung stabilitas ekonomi, mendorong konsumsi, dan tidak memberikan beban tambahan yang signifikan bagi sektor usaha,” pungkasnya. [gi/ab]